KEBERLANJUTAN ADALAH PRODUK SAMPINGAN KEADILAN


 

Kita sering kali melontarkan kata “berkelanjutan”. Kita sering kali berandai-andai jika saja solusi yang berkelanjutan tak segera ditemukan, maka sesegera mungkin juga kita akan tiba di titik tanpa adanya jalan pulang—dimana sumber daya akan terkuras habis, ekosistem akan ambruk, dan bumi akan kehilangan kemampuannya untuk beregenerasi. Akan tetapi, di tengah pembicaraan ini, kita jarang mempertanyakan mengapa justru praktik-praktik yang tak berkelanjutan ini yang menjadi kebiasaan kita.

Pendekatan yang paling sering digunakan untuk menuju “keberlanjutan” selalu saja terpusat pada solusi yang dapat mempertahankan laju tingkat pertumbuhan, konsumsi, ekstraksi, dan eksploitasi. Kita senantiasa berjinjit di atas akar permasalahannya sembari mencari solusi-solusi inovatif yang justru melanggengkan sistem penindasan dengan gaya yang “berkelanjutan”.

Pembingkaian dari “keberlanjutan” yang paling marak dipakai terpusat pada solusi teknokratis untuk masalah yang diciptakan oleh industri itu sendiri. Pada kasus ini, “solusi berkelanjutan” acapkali bersifat teknis, yang hanya menawarkan solusi pada tataran gejala, seperti bagaimana cara memproduksi lebih banyak pangan untuk mengakhiri kelaparan, bagaimana cara melacak dan mengelola input dengan pusat data, atau bagaimana cara mempermudah akses pasar komoditas untuk membantu para petani mengatasi hutang-hutang mereka.

Mereka tak menyasar pertanyaan pokok seperti mengapa kelaparan masih saja ada di tengah produksi pangan yang cukup untuk memberi makan dunia 1.5 kali lipat, atau mengapa sistem yang memaksa petani terjerumus ke dalam lubang hutang masih saja dipertahankan.

Dengan kata lain, “solusi berkelanjutan” cenderung membiasakan para petani dengan sistem yang sama sekali tidak adil, alih-alih melawan ketidakadilan itu sendiri.

Solusi berkelanjutan justru lebih terfokus untuk membantu para penindas menangani masalah yang digaungkan secara berlebih-lebihan kepada masyarakat—masalah yang hanya dapat diatasi dengan berinvestasi pada teknologi “ramah lingkungan” bernilai miliaran dolar. Dan ketika teknologi tersebut telah dikembangkan, para petani akan dibebankan dengan praktik-praktik baru, tak peduli seberapa besar kesenjangan sosial yang terjadi.

Korporasi transnasional telah mencengkeram kendali atas sistem pangan hingga memaksa para petani ketergantungan praktik-praktik monokultur dan juga bahan kimia berbahaya yang merusak tanah serta mata pencaharian mereka. Sedekade berlalu, korporasi yang sama meminta para petani untuk menganekaragamkan tanaman mereka—mungkin praktik paling kuno dalam pertanian—untuk meningkatkan ketangguhan tanaman dan menambah kesehatan tanah. Tanggung jawab untuk beradaptasi lagi-lagi dibebankan ke para petani, sementara korporasi yang memiskinkan mereka tetap menghasilkan miliaran. “solusi berkelanjutan” jelas tidak mengatasi masalah yang tepat.

Sistem pangan industri tak lain merupakan hasil eksploitasi dari alam, petani, dan masyarakat pribumi. Kegagalan dalam menyasar kesenjangan sosial yang diciptakan oleh dunia minoritas, diperburuk dengan adanya solusi berkelanjutan serta praktik-praktiknya yang dapat dengan mudah membuat suatu kondisi yang menunjang kelangsungan eksploitasi tersebut secara terus-menerus.

Kelaparan tetap saja merajalela bahkan ketika stok pangan melimpah dan para petani dihadapkan dengan jeratan hutang yang merebak. Semuanya berakar dari sejarah kekerasan yang sama—konsolidasi kekuasaan kolonial dan transnasional terhadap sistem pangan. Pengenaan revolusi hijau, perampasan secara terstruktur lahan-lahan petani guna memfasilitasi perusahaan transnasional, dan industrialisasi paksa terhadap dunia mayoritas telah menciptakan kesenjangan besar-besaran, dan mendorong para petani ke dalam ngarai ketergantungan.

Pendekatan yang paling sering digunakan untuk menuju “keberlanjutan” selalu saja dibingkai sedemikian rupa agar tak menyasar kesalahan yang melekat dalam sistem. Perubahan terstruktur pun dikesampingkan.

Pada kenyataannya, ketidakadilan sosial dan degradasi lingkungan satu sama lain saling memperkuat produk-produk dari sistem pangan yang tak adil. Ketidakadilan sosial melahirkan lebih banyak ketidakadilan sosial. Ketidakmampuan sistem industri untuk benar-benar menyasar “keberlanjutan” terlihat makin jelas dalam kegagalannya menghadapi fakta-fakta yang ada, karena untuk melakukannya dibutuhkan penyediaan ganti rugi dan pembagian lahan serta kekayaan.

Jika kita benar-benar membicarakan keadilan, maka kita tidak akan dapat menghindari fakta bahwa secara jangka panjang, keadilan berarti pembagian kekuasaan dan pada akhirnya perombakan sistem dominasi itu sendiri. Membicarakan keadilan sudah pasti akan memperhadapkan kita dengan dengan peninggalan-peninggalan kolonialisasi, industrialisasi, dan eksploitasi yang membangkitkan sistem dominasi hari ini.

Reparasi, redistribusi, dan keadilan sosial adalah hal-hal yang genting jika kita ingin berada pada jalur “keberlanjutan”

Ketika kita mulai melihat masalah-masalah ini melalui kacamata kekuasaan, maka dengan segera kita akan mengetahui dengan jelas mengapa praktik-praktik keberlanjutan amat sulit untuk digunakan dalam sistem penindasan saat ini.

Seorang dramawan, Bertolt Brecht, pernah mengatakan, “Tiada siapapun yang dapat menjadi orang baik untuk waktu yang lama jika kebaikan tidak sedang menjadi tuntutan.” Solusi berkelanjutan yang sebenar-benarnya adalah yang mendukung dan menormalisasi praktik-praktik keberlanjutan. Solusi yang memandang keadilan sosial sebagai hal yang esensial untuk keadilan lingkungan.

Kota Belo Horizonte, Brazil, telah selangkah lebih maju menuju kebijakan keamanan pangan mereka yang revolusioner, yang tak hanya mengakui pangan sebagai hak legal tiap-tiap warga negara, tapi juga menyediakan sumber daya sosial ekonomi dan keamanan bagi para petani untuk menyusun sistem pangan mereka sendiri.


Ketika sedang mengkaji dampak dari kebijakan Belo Horizonte tentang sistem pangan lokal, Jahi Chappell, seorang agroekolog menemukan bahwa dengan mendukung kesejahteraan para petani, maka secara substansial praktik-praktik agroekologis serta keamanan pangan pada kota itu juga ikut terpengaruh. Lebih luar biasanya lagi, Chappell juga menemukan hubungan yang tak terpisahkan antara peningkatan keamanan pangan dan diversifikasi pertanian untuk meningkatkan keanekaragaman hayati di kawasan itu.

Belo Horizonte dengan kuat menggambarkan bahwa sistem keberlanjutan pangan bukan hanya sekedar sistem pangan.Kita tak perlu menghabiskan miliaran untuk menemukan kembali solusi dan praktik-praktik berkelanjutan. Lagipula, yang tak berkelanjutan bukanlah praktik-praktik kita, tapi sistem itu sendiri.

Solusinya jauh lebih sederhana, terus-terang, dan hemat biaya. Tapi amat sulit bagi kita untuk betul-betul melangkah menuju solusi yang tepat, karena untuk melakukan itu dibutuhkan redistribusi sumber daya dan kekuasaan, dan itu akan mengancam sistem penindasan yang selama ini telah menguntungkan para penindas.

Solusi dan praktik-praktik berkelanjutan dalam ketidakhadiran keadilan sosial secara moral membalikkan masalah yang sebenarnya, menempatkan tanggung jawab akan perubahan ke pundak mereka-mereka yang tertindas. Konsolidasi kekuatan sistem pangan telah memaksa para petani melakukan praktik-praktik yang tak berkelanjutan, hal itu malah diperparah dengan solusi-solusi palsu yang membebani petani untuk mengubah cara mereka bertani.

Pada akhirnya, hanya keadilan sosial dan kedaulatan panganlah yang memperbolehkan para petani untuk membangun sistem pangan yang berkelanjutan dan adaptif.

Apa yang selama ini telah kita lupakan adalah ketidakberlanjutan bukanlah keadaan bawaan—malah sebaliknya. Ketidakberlanjutan bukan dikarenakan oleh pilihan para petani untuk monokultur atau input berbahaya. Kebanyakan petani, utamanya mereka yang pernah bekerja sama dengan kami, sama sekali tidak ingin menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Mereka terpaksa mengikuti sistem yang ada karena industri agrikultur lebih menguntungkan korporasikorporasi yang menjual input, mengontrol perdagangannya, prosesnya, pembuatannya, serta pengecerannya.


Dengan semakin terkikisnya hak-hak para petani, opsi mereka pun menjadi sedikit: ketidakberlanjutan atau hutang-hutang yang melumpuhkan.

Dan sistem dimana para petani tidak memiliki kebebasan untuk memilih tak akan memberikan titik terang untuk menuju keberlanjutan yang sejati. Kita telah melihat masalah ini dengan cara yang terbalik; Yang kita butuhkan terlebih dahulu adalah keadilan. Niscaya, keberlanjutan akan ikut serta.


Foot Note

  1. Teknokrasi adalah bentuk sistem dimana para pakar teknologi menguasai ranah pengambilan keputusan. Sistem ini berakar pada kepercayaan bahwa kebanyakan masalah adalah masalah saintifik yang hanya bisa diatasi dengan teknologi, bukan masalah sosial yang memerlukan intervensi politik.
  2. Dunia minoritas merujuk pada negara-negara yang biasanya dikenal sebagai “negara maju”, walaupun negara-negara ini cenderung memaksakan kehendak mereka kepada seluruh dunia, faktanya, mereka adalah minoritas.
  3. Dunia mayoritas merujuk pada negara-negara yang biasanya dikenal sebagai “negara berkembang”, yang faktanya, menyusun sebagian besar populasi dunia.
  4. Chappel, M. Jahi et al. “Participation In A City Food Security Program may be Linked to Higher Ant A- and B-Diversity: An Exploratory Case from Belo Horizonte, Brazil.” Agroecology and Sustainable Food System, 2016.

Artikel ini kami terjemahkan dari konten Agrowingculture di kanal instagram.

Translator : San Lee

Previous TAK KUNJUNG TURUN HARGA, SPBU KEMBALI DISITA RAKYAT
Next Merespon seruan aksi nasional, MAKAR lakukan aksi demonstrasi tolak kenaikan harga BBM

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *