Kunjungan Si Bocah Rambut Pirang


Injustice has no choice to be unseen
For any eyes will still be watching
Even if one took many to be poked
One still got pair of hope
For injustice can not be unlooked

Terik sinar matahari mendarat di dahi anak berambut pirang itu, menyemai gerah dan menumbuhkan bulir-bulir keringat yang membiaskan kembali si sinar matahari. Sebatang rokok dengan ujung yang membara terjepit diantara jari tengah dan jari telunjuknya. Ia dengan raut wajah serius memandangi salah seorang demonstran yang tengah berorasi diruas jalan Pettarani.

Sore itu, ia dan enam orang temannya sedang berjualan tisu di persimpangan jalan Boulevard-Pettarani saat melihat massa Komite Aksi Hari HAM yang long march kearah mereka. Massa aksi pun berhenti di sana dan menyampaikan aspirasi mereka dengan amat berapi-api. Bocah berambut pirang itu, beserta teman-temannya dengan penasaran menghampiri kerumunan massa, dengan sekantong tisu yang masing-masing tertenteng di tangan mereka.

Ditemani teriknya sinar matahari, Komite Aksi Hari HAM menggelar demonstrasi pada hari kamis, 17 Februari, pukul setengah empat sore. Massa aksi long march dari Universitas Negeri Makassar menuju persimpangan jalan Boulevard-Pettarani, lalu berbalik pulang ke titik awal.

Komite Aksi Hari HAM menanggapi maraknya kekerasan Negara di tengah lajunya pembangunan dengan melakukan long march, orasi, serta teatrikal yang menggambarkan penindasan yang selama ini diterapkan oleh aparatus Negara. “Harusnya aparat Negara, alat Negara, melayani masyarakat sipil bukan malah menindas kita, saudara-saudara,” ucap salah seorang demonstran dengan semangat yang berkobar-kobar.

Si bocah berambut pirang sama sekali tak menghiraukan rokok yang berada di apitan jarinya. Ia dengan mata yang berbinar-binar terkesima dengan orasi-orasi yang secara bergantian diteriakkan dengan lantang oleh para demonstran. Bersama dengan teman-temannya, ia juga ikut mengepalkan tangan kirinya ke udara tanpa secuil pun keraguan, seakan menemukan alasan kenapa ia mempunyai tangan kiri.

Bagaikan kunjungan ke suatu pameran, ia melihat satu-persatu petaka yang dipegang oleh massa aksi. “Rakyat melawan, aparat membungkam, peluru menghujam,” adalah salah satu tulisan yang terpampang pada pataka yang dipegang massa aksi. Ia mengangguk-ngangguk  seakan membenarkan tulisan tersebut.

Perhatian si bocah tiba-tiba teralihkan oleh salah seorang massa aksi yang mengambil kaleng cat lalu mengecat jalan. Ia mendekat lalu berjongkok untuk melihat dengan lebih jelas apa yang berusaha ditulis sang pengecat. “Balas Nyawa Aldy, tulis sang pengecat, memeringati kematian Erfaldi, demonstran penolak tambang di Parigi Moutong yang tewas usai ditembak oleh salah seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Si bocah bergeming tanpa ekspresi. “ayomi pergi jual ki (tisu),” kata salah seorang teman si bocah dengan tidak sabar. “jang ko dulu,” balas si bocah berambut pirang. Ia sama sekali tak ingin melewatkan apapun saat itu.

Menjelang magrib massa bersiap-siap untuk kembali ketitik awal long march, Unirvesitas Negeri Makassar. Berjalan sejauh satu setengah kilometer sama sekali tak memudarkan semangat yang terlukis pada wajah para demonstran. Pengendara yang lalu-lalang di depan para demonstran tak jarang melayangkan jempol kepada mereka, hal itu berhasil menyimpulkan bibir mereka hingga membentuk senyum yang terukir diantara peluh pada wajah mereka.


Author : Loucifer
Editor : PK

Previous Solidaritas Terhadap Warga Wadas dan Parigi, Komite Aksi Ham Melakukan Demonstrasi
Next BEM Kemafar: Butuh Bagi Warga Pantai Merpati Mendapat Bantuan Kesehatan

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *