Baru-baru ini, mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) dan beberapa kalangan akademisi dihebohkan dengan isu rangkap jabatan yang dilakukan oleh rektor Unhas. Prof. Dwia Aries Tina Pulubuhu selakur ektor Unhas juga menjabat sebagai komisaris independen PT. Vale Indonesia, terhitung mulai September 2020. Sekalipun diangkat sekitar akhir tahun lalu, namun fakta ini baruterkuak di publik sekitar akhir Juni 2021.
Hal ini tidak hanya menyoal integritas seorang rektor, tapi juga menyangkut adanya peraturan atau norma hukum yang dilanggar. Jelas, dalam statuta Unhas yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 pasal 27 ayat 4 bahwa seorang rektor dilarang merangkap jabatan.
Setelah masuk dalam wacana nasional, Humas Unhas, Ishaq Rahman, SIP sebagai representasi pihak kampus angkat bicara. Ia menilai bahwa rektor Unhas tidak melanggar apapun, karena aturan tersebut masih harus diinterpretasikan. Selain itu, Ia juga menambahkan dalam perusahaan tersebut, rektor Unhas tidak memangku jabatan eksekutif, melainkan lebih kepengawasan.
Namun, pembelaan itu tidak mengubah kondisi sama sekali. Pernyataan mengenai membutuhkan interpretasi lebih sangat tidak jelas, karena hingga hari ini belum ada peraturan tambahan mengenai tafsir pasal tersebut, baik dalam peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) Unhas atau aturan yang lain.
Sehingga, menurut Prof. Dr. AminuddinIlmar, S.H., M.H dalam diskusi yang diadakan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM-UH) menyebutkan bahwa selama belum ada peraturan tambahan mengenai PP 53/2015 pasal 27 ayat 4, lalu kita menginterpretasikan norma yang ada maka seharusnya rektor Unhas tidak boleh merangkap jabatan baik di luar maupun di dalam kampus.
Namun ada fakta yang mencengangkan, Humas Unhas mengatakan bahwa mengenai rangkap jabatan rektor sudah mendapat persetujuan dari MWA Unhas dan Dirjen Dikti. Hal ini kemudian dinilai oleh pihak Ombudsman RI sangat berpotensi maladministrasi, apalagi disetujui MWA maka justru terjadi double maladministrasi.
Lalu, bagaimana MWA Unhas bisa memberikan persetujuan kepada rektor dalam menjabat sebagai komisaris independen PT. Vale Indonesia? Untuk mekanisme persetujuan rangkap jabatan rektor unhas oleh MWA sampai hari ini belum jelas. Ungakapan Humas Unhas juga tidak menyebutkan bagaimana bentuk persetujuan oleh MWA tersebut.
Di mana peran BEM Universitas (BEM-U) sebagai representasi mahasiswa di panggung MWA? Peran BEM-U nihil dalam hal ini, saat pengangkatan rektor sebagai komisaris tidak pernah dilibatkan. Lembaga yang dengan cita-cita sebagai alat advokasi tidak mampu bergerak banyak. Hal ini diamini oleh Abdul Fatir Kasim selaku Presiden BEM-U periode 2019/2020, “Selama saya di SK kan, belum pernah saya temui agenda khusus tentang persetujuan rektor menjabat komisaris,” ulasnya yang dihubungi via whatssapp.
Kalangan BEM-U juga kebingungan mengenai persetujuan dari MWA yang diklaim oleh Humas Unhas. Jangan sampai persetujuan rangkap jabatan rektor hanya sebatas bincang-bincang biasa saja atau personal. “Entahlah bagaimana yang dimaksudkan persetujuan, mungkin secara personal saja atau bagaimana,” lanjut Fatir.
Padahal seharusnya, perbincangan mengenai rangkap jabatan rektor menjadi materi yang serius. MWA butuh banyak pertimbangan seharusnya, sehingga penting untuk melaksanakan sebuah rapat khusus atau apapun namanya, dengan mengundang seluruh anggota, termasuk perwakilan mahasiswa. Hal tersebut juga diamini oleh Fatir. Menurutnya, sebaiknya mengenai rangkap jabatan ini dibahas oleh seluruh anggota MWA, supaya tidak memunculkan perbedaan opini dari berbagai unsur di MWA dan di kalangan mahasiswa terutama.
Fatir juga mengaku biasanya diundang dalam rapat-rapat MWA, khususnya rapat paripurna yang memang harus dihadiri semua anggota. Tapi perihal rangkap jabatan rektor, tidak pernah ada pembicaraan.
Hal tersebut juga dialami oleh Presiden BEM-U yang sekarang, Imam Mobilingo. Ia menyebutkan bahwa sampai sekarang (tertanggal 10/07/21) belum ada pembahasan mengenai rangkap jabatan ini. “Belum ada pembahasan, sampai sekarang semenjak saya di-SK sebagai MWA saya juga belum diundang di grupnya,” ungkapnya saat dihubungi via direct message Instagram.
Bahkan berita rektor yang merangkap sebagai komisaris ini baru diketahui oleh BEM-U pasca mencuatnya berita rangkap jabatan yang dilakukan oleh rektor Universitas Indonesia. Padahal apabila ada transparansi harusnya sejak September isu ini sudah meluas.
Sekalipun begitu, Imam menilai bahwa rangkap jabatan ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Ia juga menuntut agar rektor Unhas segera memberi tanggapan mengenai hal ini. Sekaligus mengawal sampai pada tahap pemberian sanksi apabila terbukti bersalah.
“Tentu ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap statuta Unhas, dalam statuta jelas tertulis pada pasal 27 ayat 4 tentang rektor dilarang rangkap jabatan, maka dari itu kami menuntut agar rektor Unhas membuat klarifikasi terkait pelanggaran ini. Dan kami akan terus mengawal terkait sanksi apa yang akan diterima apabila terbukti bersalah,” pungkas Imam.
Hampir tidak ada yang optimis dengan mengandalkan BEM-U sebagai kontra wacana tunggal birokrasi. Mulai dari tidak terlibat di perizinan rangkap jabatan rektor hingga tidak ada langkah progresif untuk mengadvokasi hal ini hingga sekarang. Lembaga yang diharapkan mempermudah akses dan memicu transparansi pengelolaan kebijakan ternyata tidak bisa berbuat banyak.
Bahkan ketika ditanya perihal sudah sejauh mana melihat kasus ini, hanya ada jawaban “masih dalam tahap kajian”. Padahal, isu ini sudah dua minggu terkuak menjadi wacana publik, khususnya internal civitas akademika Unhas.
Lembaga ini tidak hanya memecah belah kubu gerakan mahasiswa Unhas. Tetapi juga, kinerja yang minim dalam advokasi non-litigasi atau tidak progresif mengawal isu baik skala kampus maupun nasional. Bahkan hari ini, ketika dihadapkan dengan isu yang seharusnya BEM-UH punya andil besar, ternyata nihil juga.
Betapa antusiasnya lembaga-lembaga yang dahulu berlabuh di BEM-UH mengenai mewujudkan transparansi, baik anggaran atau pun kebijakan skala kampus. Faktanya, isu rangkap jabatan rektor memakan waktu setengah tahun untuk terkuak. Ini nampaknya memperjelas sentimen-sentimen yang selama ini dibangun oleh Lema tiap fakultas di Unhas yang menolak BEM Universitas, bahwa BEM-UH tidak mampu berbuat banyak dihadapan kampus.
Fakta yang lain misalnya, beberapa Lema fakultas menarik diri dari keterlibatan di BEM-UH karena tingginya intervensi birokrasi, cukup membuktikan bahwa BEM-UH tidak lagi menjadi wadah independen, terlalu banyak kepentingan didalamnya.
Penulis : Laroja
Editor : Nadi
No Comment