catatankaki.org-Setelah di hari selasa kemarin, mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) yang menamakan dirinya Aliansi Unhas Bersatu (AUB), yang juga ikut tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Makassar (MAKAR) kembali mengaspal dengan berbekal spanduk, toa, dan berikutnya almamater merah. Aksi yang digelar pada hari Jum’at (13/03/2020), ditujukan untuk menjemput tibanya sidang paripurna Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang terangkum dalam bentuk undang-undang sejagat atau Omnibus Law.
Dengan segenap kemampuan seni, aksi ini diramaikan pertunjukan teatrikal parodi pertandingan sepak bola antara investor melawan pekerja, puisi perjuangan juga tak lupa, dan beberapa orasi politik oleh massa aksi, yang berlangsung di depan Pintu Nol, Kampus Unhas. Dimulai sejak dentuman jarum jam menunjuk pukul 16.32 WITA. Kobaran api membiarkan kepulan asap menjulang, menggelegarkan semangat massa aksi ketika menyampaikan kegelisahannya.
Pasalnya, hal-hal yang dianggapnya penting justru ditiadakan oleh pemerintah pada draf RUU yang tebalnya 1028 halaman itu. Semua itu dinilai akibat lahirnya RUU Cipta Kerja guna mendampingi segenap hidup para korporat dalam menjalankan investasi, mesra euy.
Dan akan hal itu, hal-hal penting seperti hak atas lingkungan hidup yang sehat, terpaksa say goodbye.
Memang, dalam pembahasan klaster penyederhanaan perizinan berusaha pada draf RUU Cipta Kerja, izin lingkungan telah disinggung. Demi mendorong terciptanya iklim investasi nan sehat tanpa perlu meribetkan para korporat mengurus perizinan sana sini, maka pemerintah dengan bijaknya menghapuskan Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang membahas tentang izin lingkungan. Tentunya hal ini mengancam rumput yang bergoyang, ribuan koloni semut, dan apapun yang memiliki hubungan dengan alam, mutlak akan terancam.
Sementara itu, salah seorang massa aksi menilai hal ini berpotensi merusak lingkungan hidup. Namun walaupun demikian, investasi tetaplah yang nomor satu, walau hanya bagi pemerintah dan bagi segenap koloni korporat. Gitu mba’ku.
Untuk memastikan investasi tetap berjalan lancar, sekalipun telah merusak lingkungan hidup, pemerintah mencoba mengamankan para korporat. Berikutnya, pasal 88 UU PPLH tentang unsur pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap pencemar dan perusak lingkungan, kini mendapat giliran serupa. Pasal ini, tanpa pertimbangan panjang, juga ikut dimakamkan pemerintah.
Pasal 88 UU PPLH menjemput ajalnya sebab sebenarnya ia adalah senjata yang biasanya digunakan oleh korban terdampak dari rusaknya lingkungan hidup, untuk meminta pertanggungjawaban korporasi perusak atau pencemar.
“The doctrine of strict liability for abnormally dangerous activities can be of assistance in
many cases of environmental damage, strict liability is, of course, more than a burden-shifting doctrine, since it not only relieves the plaintiff of the obligation to prove fault but
forcloses the defendant proving the absecne of fault“-James Krier-
Kembali, mahasiswa memilih berseberangan dengan pemerintah. Kali ini giliran mahasiswa fakultas kehutanan, panggil saja Doi, memberi komentar, “… alih-alih menindak tegas korporasi perusak lingkungan, pemerintah malah memperlemah penegakan hukum dan akhirnya semakin menguatkan impunitas korporasi perusak lingkungan hidup”, begitu katanya. Yah memang itu tujuan pemerintah. Kan tegaknya penegakan hukum akan mengancam korporasi, makanya dilemahkan saja, demi investasi bro.
Atas tiadanya kedua pasal di atas, Doi menganggap rakyat Indonesia akan mengalami pengungsian sosial ekologis sebagai imbas bencana alam yang akan ditimbulkan dari krisis ekologi dan lemahnya penegakan hukum bagi para perusak lingkungan.
Menjelang dilahapnya matahari oleh bulan, massa aksi mengakhiri aksi dengan do’a bersama. Do’a bersama itu ditujukan agar pemerintah dapat inshaf dari segala tindakannya yang dianggap merugikan rakyat.
Diberangus Terus Menerus: Represi Aparat dan Kampus
Sehabis do’a bersama, massa aksi sudah berniat membubarkan diri. Namun karena jiwa rebel-nya, sang jendral lapangan (jendlap) kembali mengarahkan massa untuk menemani senja lebih lama lagi.
Tak begitu jauh bergeser dari titik aksi, bentangan spanduk kembali terpampang.
Selang singkat dibentangkannya spanduk itu, segenap Satuan Pengaman (Satpam), polisi dan beberapa temannya yang tak berseragam, atau kita sebut saja mereka sebagai intel, menghampiri massa aksi dengan mukanya yang garang itu. Padahal sebenarnya, massa kembali diarahkan cuma untuk menyempurnakan rangkaian aksi ini, yaitu pembacaan tuntutan.
Namun karena terlanjur icemosi, negosiasi jadi jadi tak lagi dihiraukan. Tindak represi yang menggambarkan kegarangan polisipun menampakkan diri. Mereka pukuli beberapa massa aksi.
Sementara itu, jendlap mungil dengan semangat yang menggebu-gebu juga ikut mendapat pelukan mesra, alias dipiting pak polisi. Sembari dibawanya, pak pol yang memberi pelukan mesra itu juga berteriak “bawa ke kantor, bawa ke kantor”. Mau diangkut? Apa deh pak, orang cuma aksi damai ji kodong.
Sungguh upaya yang apik dari sang jendlap untuk menyelamatkan diri. Ia mengelabui pak polisi dengan ancaman bahwa merekalah yang memprovokasi massa lebih dulu. Dan akhirnya, pak polisi melepas sang jendlap.
Appako pak pol, jendlap andalang ini kau we.
Sepertinya, pada aksi kali ini, polisi mendapat pukulan telak dari mahasiswa. Bukan hanya berhasil dikelabui, dapat juga mereka caci oleh massa aksi. “Duaji yang agak bencika, pertama itu yang dia suruh mki balik [paksa] na mauki dulu berdoa, dan kedua itu represifnya ke mahasiswa”, kata salah seorang massa aksi saat diwawancarai.
Penulis : Lullaby
Editor : Nichol
No Comment