catatankaki.org Padamnya listrik di Kampung Rimba, sekretariat Badan Eksektif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan, Univeritas Hasanuddin (UNHAS) diindikasi merupakan tindak lanjut upaya penggusuran oleh pihak birokrat Fakultas Kehutanan, tepat pada hari Jum’at, 23 Oktober 2019. Semalam sebelumnya, Presiden BEM Kehutanan atau yang akrab disapa Ammang, memang sudah disodorkan surat perihal pengosongan sekretariat.

Telah seminggu berlalu sejak pihak dekanat meminta mahasiswa pengurus lembaga mahasiswa yang ada di Kampung Rimba untuk segera mengosongkan dan pindah dari sekretariatnya. Alasannya, akan diadakan pembangunan aset fakultas di lokasi tersebut. Isu mengenai pemindahan sekretariat sebenarnya sudah beredar dikalangan mahasiswa kehutanan semenjak dua tahun lalu.

Hingga pada tanggal 11 Desember 2018 lalu, Ammang selaku presiden BEM meminta kejelasan mengenai isu pemindahan sekretariat yang ada di kampung rimba ini. “Saya langsung ke Dekan, perjelaski tentang perpindahan sekret . . . ” kata Ammang.

“Nah sampai pembekuan itu tidak adami isunya, pas pembekuan, naik ki lagi isunya. Karena di point pembekuan kan, di point SK-nya itu ada mencabut soal fasilitas, termasuk sekretariat. Di situ mi mencuat lagi isunya,” terangnya lebih lanjut.

Pembangunan aset fakultas di Kampung Rimba juga sama sekali belum siap, pun alternatif relokasi yang ditawarkan kepada pengurus lembaga jauh dari kondisi yang memuaskan dibandingkan Kampung Rimba. Sekretariat untuk Biro Fakultas Kehutanan misalnya, rencana akan dipindahkan ke satu ruangan kecil berukuran 3 x 1,5 meter.

Menjadi pertanyaan besar bagi mahasiswa terkait ruangan kecil yang sepertinya hanya cocok digunakan sebagai dapur. Dapur pun sebenarnya belum cukup dengan mempertimbangkan UNHAS sebagai perguruan tinggi negeri peringkat delapan di Indonesia.

Masalah pemindahan dan pembangunan aset fakultas, menurut Ammang merupakan upaya optimalisasi aset Unhas sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) . Memang pada kondisi sekarang, UNHAS lagi marak-maraknya melakukan pembangunan, bertepatan dengan akan diselenggarakannya evaluasi PTN BH. Santer terdengar kabar bahwa penggusuran Kampung Rimba ini merupakan rangkaian dari usaha pihak fakultas untuk membangun pos-pos anggarannya sendiri, sebagaimana yang memang telah menjadi semangat komersialisasi dari PTN BH.

Alasan lain ditolaknya pemindahan sekretariat adalah karena aktivitas mahasiswa yang hanya dapat terwadahi di Kampung Rimba. “Kalau anak-anak [mahasiswa kehutanan] tidak menginginkan ki toh adanya pemindahan sekret karena aktivitas di sini bukan sekedar sekretariat saja. Kayak ada anunya anak-anak, nursery-nya anak-anak, pembibitan. Ada panggungnya BKBK di belakang yang sering na pake tampil. Sama biasanya juga pake kasi belajar anak-anak kecil toh,” ucap Presiden BEM mewakili ‘anak-anakka tawwa’.

Pihak dekanat Fakultas Kehutanan memang tak pernah kooperatif dalam memutuskan suatu perkara (bukan di kehutanan saja, semua birokrat setiap jurusan di Unhas belakangan cenderung mengambil keputusan sepihak). Selama ini belum pernah ada kebijakan yang diputuskan dengan adanya perlibatan pihak mahasiswa, semuanya cuma dari para Birokrat.

Terkait isu penggusuran ini, reaksi kekecewaan juga muncul dari alumni Kehutanan yang sempat menghabiskan waktunya untuk menempa diri di Kampung Rimba, salah satunya La Ode Muhammad Iqbal, angkatan 2010, mantan Koordinator Jarinfo & Advokasi di BEM Kehutanan. Kampung Rimba, yang meninggalkan kenangan sebagai tempat mengkaji berbagai isu, termasuk isu kehutanan, kebangsaan, maupun isu kelembagaan, membuat Ode beranggapan bahwa penggusuran ini tentu merugikan mahasiswa Kehutanan.

“Kampung Rimba adalah rumah dan tempat berdialektika warga Sylva selama 7 tahun terakhir. Kawan-kawan tentu menolak bila ingin dipindahkan dari Kampung RImba, sebab ruangan yang disediakan di Fahutan tak seluas ruangan yang ada di Kampung Rimba”.

Beliau melanjutkan bahwa “Kalaupun kawan-kawan jadi dipindahkan seharusnya pihak Fahutan menyediakan tempat yang cukup luas untuk sekretariat Kemahut SI UNHAS, Biro Khusus PAL dan Biro Khusus Belantara Kreatif. Harapan terbesar saya tentunya pihak Fahutan mempertimbangkan kembali keinginannya untuk memindahkan sekretariat Kemahut dan Biro Khusus, mengingat selama kawan-kawan di Kampung Rimba selalu melakukan hal-hal yang produktif seperti diskusi mingguan, pembibitan tanaman hutan, pembuatan perpustakaan mini yang koleksi bukunya sudah ratusan. Belum lagi kawan-kawan untuk kawan-kawan Biro Khusus,” lanjutnya.

Bagaimanapun, dengan dikeluarkannya surat edaran pengosongan sekretariat, maka usaha fakultas untuk menggusur Kampung Rimba tetap berlanjut. Diindikasi bahwa penggusuran akan mulai dieksekusi pada Sabtu, 26 Oktober. Penggusuran ini, yang merupakan bagian dari pelemahan lembaga kemahasiswaan dan usaha komersialisasi pendidikan di Universitas Hasanuddin, memaksa mahasiswa yang masih sadar akan kebobrokan ini untuk mengambil langkah yang serius.

Sebab, betapa memalukannya bagi generasi kita kelak bila harus mengakui bahwa di generasi kitalah UNHAS ditundukkan di bawah hukum pasar, dijadikan pabrik pencetak tenaga kerja yang murah dan tidak kritis, pendeknya, menjadi generasi yang menyerahkan masa depan institusi pendidikan tinggi Indonesia kepada kekuatan neoliberalisme. Karenanya, mari menyelamatkan Kampung Rimba dari dampak buruk neoliberalisasi pendidikan tinggi di UNHAS, untuk kemudian lanjut memperjuangkan pendidikan tinggi Indonesia yang lebih adil dan membebaskan. Tolak penggusuran Kampung Rimba! Tolak Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi!


Penulis: Melan

Editor: Ilman & Amri

Previous GERAKAN ‘EXTINCTION REBELLION’: KESEMPATAN TERAKHIR MENYELAMATKAN BUMI?
Next Pemberontakan Sebuah Generasi Terhadap Budaya Tua (Bagian 1): Dari Pemberontakan Paris 1968 Ke Aksi-aksi #ReformasiDikorupsi Indonesia 2019

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *