catatankaki.org — Kasus kekerasan seksual belakangan ini kian marak terjadi. Salah satunya yang kerap diperbincangkan yakni kasus Agni, mahasiswi Universitas Gadjah Mada. Tindak kekerasan seksual ini menjadi sorotan karena ternyata dalam lingkungan kampus pun kekerasan seksual dapat terjadi. Anehnya pula, pihak kampus memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaian masalah yang tidak memihak korban. Kasus Agni merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual di luar sana. Menyikapi hal tersebut beberapa organ mahasiswa (UKPM, Srikandi, FMK, Senat FE UH, HIMAHI dan Kemasos) mengadakan diskusi publik. Diskusi ini dimulai pada pukul 16.15 Wita di Mimbar Sospol Universitas Hasanuddin.

Dalam diskusi dibahas mengenai Rancangan Uundang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual dalam Kampus. Salah satu pembicara, Fikram, mengatakan bahwa RUU PKS yang hingga kini urung disahkan merupakan salah satu langkah untuk mengatasi tindakan kekerasan seksual yang ada. Menurutnya, RUU PKS lebih berperspektif korban dan secara spesifik membahas langkah penyelesaian dan juga pencegahannya.

Dalam diskusi juga dibahas mengenai jenis-jenis tindakan yang bisa dikategorikan dalam kekerasan seksual. Tak hanya pemerkosaan dan pencabulan, menikah paksa juga termasuk dalam tindak kekerasan seksual. “Pemaksaan perkawinan juga merupakan kekerasan seksual. Keluarga bisa menjadi pelaku (kekerasan seksual) ketika ia memaksa anaknya untuk menikah”, tegas Ruth, salah satu pembicara dalam diskusi.  Poin ini menjadi penting karena keluarga pun tanpa disadari bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.

Upaya preventif perlu dilakukan untuk menghadapi hal ini. Menurut  Yuli, juga salah satu pembicara, menyampaikan pendidikan merupakan salah satu alternatif yang bisa ditempuh dan harus secara terus-menerus dilakukan. Menurutnya, kesadaran gender perlu bagi setiap orang. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa wadah untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialami juga perlu diadakan dalam kampus  seperti membentuk ‘crisis center’.

Suasana diskusi berlangsung interaktif, peserta diskusi cukup responsif. Bahkan saat menjelang petang, diskusi tak juga surut.  Beberapa peserta menyampaikan pandangannya mengenai RUU PKS, ada yang pro dan ada pula yang kontra, adapula yang menawarkan alternatif lain selain RUU PKS untuk mencegah tindak kekerasan seksual.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, sebagaimana dikutip dari artikel Tempo.co mengatakan bahwa RUU PKS menjadi penting karena menyangkut harkat dan martabat perempuan, juga laki-laki. Dengan situasi pelecehan dan eksploitasi terhadap perempuan, Yohana mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS menjadi prioritas. Namun, pembahasan RUU mandek sekalipun pelbagai kelompok masyarakat mendesak agar RUU ini segera disahkan.


Penulis: Poni & Ita

Editor: Nomi

Previous Agama Baru Saja Hadir, Lantas Mengapa Sapiens Terpikat?
Next Penahanan SK Kepengurusan UKPM UH: Legal Opinion Atas Penyelewengan Kekuasaan WR III Unhas

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *