Wahai para profesor, kau sama tuanya dengan kebudayaanmu. Modernisme-mu tidak lain sekedar modernisasi polisi!
– Gerakan Mahasiswa Paris Mei 1968
Pasca perjuangan pencabutan Peraturan Rektor Tentang Organisasi Kemahasiswaan NOMOR: 1831/UN4.1/KEP/2018 (PR ORMAWA) mencapai kebuntuan, pengekangan oleh birokrasi universitas terhadap organisasi mahasiswa tetap memperpanjang nafasnya. Secara substansial dan materiil, rentetan pasal yang mengekang sama sekali tidak tersentuh. Pengekangan oleh birokrasi Universitas Hasanuddin (Unhas) itu hanya diperjelas dengan produk lampiran Pasal Penjelas sebagai satu-satunya hasil dari pergerakan penolakan PR ORMAWA.
Lantas apa selanjutnya? Tentu, peraturan tersebut akan merekat. Masa kepengurusan kini mulai dinormalisasi untuk terciptanya keselarasan rentang waktu kepengurusan di antara organisasi mahasiswa, penyesuaian AD/RT, dan pengesahan kepengurusan berdasarkan keinginan politik birokrasi universitas. Begitu jua dengan lembaga tingkat universitas (Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Universitas/BEM-U). Setelah menjadi harga mati dalam PR ORMAWA, BEM-U sementara dalam penginisiasiannya. PR ORMAWA telah mempertegas keberadaannya sebagai perpanjangan tangan dari Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2015 (Statuta Unhas). Peraturan hukum telah merekat: BEM-U menjadi keharusan, jua mengisi satu kursi mahasiswa dalam Majelis Wali Amanat (MWA).
Pembahasan mengenai lembaga tingkat universitas tentu telah menjadi perbincangan yang lawas. Dari era Wakil Rektor III Unhas, Arsunan Arsin masih menjadi aktivis mahasiswa, hingga saat ini, era ketika ia menjadi pengontrol mahasiswa. Pun tidak menjadi rahasia lagi, inisiasi BEM-U tidak lainnya sekedar motif politik birokrasi dalam melengkapi kursi MWA yang belum terisi. Hal ini telah tertegaskan, sebab inisiasi BEM-U tidak berasal dari mahasiswa melalui analisis kebutuhan akan lembaga mahasiswa tingkat universitas. Meski telah menjadi objek yang diatur dalam PR ORMAWA, landasan kritis untuk setuju atau tidak terhadap BEM-U dan mengisi kursi MWA, perlu dipertimbangkan kembali. Daya politik satu kursi oleh Presiden BEM-U atau perwakilannya, perlu pula dikalkulasi jika berhadapan dengan jajaran korporat, birokrat universitas dan pemerintah dalam menetapkan kebijakan.
Anatomi MWA
Setelah menyandang Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), struktur organisasi pimpinan dalam Unhas dirombak. Sebelum PTN-BH, pimpinan Unhas hanya terdiri dari Rektor dan Senat Akademik (SA). Saat ini, MWA ditempatkan sebagai organisasi yang lebih tinggi ketimbang Rektor dan SA. MWA sendiri merupakan produk PTN-BH beserta wacana liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi yang mengintegral, menjadi penanda terintegrasinya pendidikan tinggi dalam mekanisme pasar bebas dan bekerjanya universitas dalam kerangka korporasi.
Secara terminologis, Wali Amanat merupakan peristilahan yang pada akarnya terdapat dalam dunia bisnis. Wali Amanat atau Trustees, diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab atas properti orang lain. Pun dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dimaknai sebagai Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang. Namun peristilahan ini kemudian dijiplak dalam institusi publik seperti universitas, sekolah, rumah sakit dan lainnya dengan konteks yang lain. Setidaknya sejak penggunaan istilah, antara universitas dengan dunia akademik dan dunia bisnis tidak lagi memiliki tapal batas pembeda atau dapat dikatakan, menyatu.
Dari amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dan Statuta Unhas, MWA terbentuk untuk menjalankan fungsi otonomi non-akademik. Perwujudan otonomi non-akademik adalah hadirnya MWA. Otonomi non-akademik universitas, meliputi pelaksanaan; 1. Organisasi; 2. Keuangan; 3. Kemahasiswaan; 4. Ketenagaan; dan 5. Sarana & Prasarana.
Namun pada dasarnya, MWA merupakan titik temu antara kepentingan korporat, birokrat universitas, pemerintah pusat, pemerintah daerah alumni, dan civitas akademika melalui dosen, tenaga pendidik dan satu kepala mahasiswa.Korporatokrasi adalah terminologi yang tepat untuk mengilustrasikan MWA. Yakni kuasa dari kolaborasi antara birokrat dan korporat, terangkum dalam sebentuk kekuasaan. Sebab setiap kebijakan yang bersifat komersial, utamanya pemanfaatan komersialisasi aset-aset strategis universitas sebagai otonomi non-akademik, seperti pendirian hotel, restoran, tempat rekreasi, olahraga dan rupa-rupa lainnya yang dapat mendatangkan profit, disetujui oleh badan kekuasaan ini.
Dalam Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Hasanuddin NOMOR: 25918/UN4.0/OT.05/2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Wali Amanat Universitas Hasanuddin, tepatnya Pasal 6 digariskan mengenai tugas dan wewenang MWA berikut:
Dalam Statuta Unhas, MWA diisi oleh 19 kursi; a. Menteri Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi; b. Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan; c. Rektor; d. Ketua SA; e. Wakil dari tokoh masyarakat sebanyak 3 (tiga) orang; f. Wakil dari dosen sebanyak 8 (delapan) orang; g. Wakil dari tenaga kependidikan sebanyak 2 (dua) orang; h. Ketua Ikatan Alumni Unhas; dan i. Ketua Senat Mahasiswa atau sebutan lain sebagai wakil mahasiswa. Susunan keanggotaan MWA Unhas periode 2015-2018:
Begitu pula dengan perangkat-perangkat kepengurusan dalam MWA yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) terdiri dari: Ketua; Wakil Ketua (2 Kursi); Sekretaris Eksekutif; Ketua Komisi Audit; dan Ketua Komisi. Komisi dalam MWA pun terbagi dua: 1.Komisi Bidang Kebijakan Umum, Pengembangan dan Kemitraan; dan 2. Komisi Bidang Perencanaan, Evaluasi dan Pengawasan. Dalam periode 2015-2018 lalu, kepengurusan MWA diisi oleh: 1. Ketua MWA: Basri Hasanuddin; 2. Wakil Ketua Bidang Kebijakan Umum, Pengembangan dan Kemitraan: Natsir Nessa; 3. Wakil Ketua Bidang Perencanaan, Evaluasi dan Pengawasan: Asmawi Syam; 4. Ketua Komisi Audit: Idrus A Paturusi; dan 5. Sekretaris Eksekutif: A Pangerang Moenta.
Satu Kursi adalah Kebohongan Demokrasi!
Dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan MWA Tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Wali Amanat Universitas Hasanuddin, kursi mahasiswa hanya diangkat dalam masa jabatan maksimal satu tahun lamanya serta masa bakti satu kali. Padahal dalam periodisasi MWA merentang selama 4 tahun. Untuk masa bakti dalam MWA satu tahun dengan unsur perwakilan mahasiswa jua hanya satu kursi, tentunya membawa daya politik yang impoten. Belum lagi tidak ada satupun perangkat kepengurusan strategis yang dapat diduduki oleh mahasiswa. Mahasiswa tidak dapat menduduki ketua, wakil ketua, komisi audit atau sekretaris eksekutif, kecuali hanya menjadi anggota salah satu dari dua komisi.
Melihat pula satu periode telah berlalu tanpa kursi mahasiswa, MWA Unhas tetap jua berjalan. Dengan artian ini, keudukan satu kursi mahasiswa pada dasarnya tidak menjadi urgensitas dalam MWA. Kursi mahasiswa tidak lainnya sekedar pelengkap yang sejatinya tidak dibutuhkan untuk berjalannya universitas berpredikat neoliberal seperti Unhas. Hanya saja, agar mencapai PTN-BH utuh nan sempurna, adalah keharusan bagi birokrasi universitas untuk melengkapi kursi mahasiswa dalam MWA yang belum terisi melalui BEM-U ‘bentukannya‘.
Ketimpangan kursi dalam MWA dapat dikalkulasi sebagai berikut: Sejak tahun 2017 terhitung jumlah dosen sebanyak 2.188 orang dan unsurnya mendapatkan delapan kursi dalam organisasi dengan kekuasaan tertinggi tersebut. Mahasiswa dengan jumlah 31.571 orang, hanya menduduki satu kursi. Sedangkan tokoh masyarakat yang justru sama sekali tidak menjadi bagian dari civitas akademika, untuk istilah lain dari korporat (terkecuali untuk konteks Basri Hasanuddin), bahkan memiliki tiga kursi.
Timpang dan senjangnya distribusi kursi dalam MWA menunjukkan, bahwa eksistensi unsur korporat dengan tiga kursi jauh lebih diprioritaskan untuk terlibat dalam mengontrol universitas, ketimbang mahasiswa itu sendiri dengan populasi terbanyak.
Lanjutnya, Pasal 36 mengatur pengambilan keputusan dalam MWA yang dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak tercapai, maka keputusan dilakukan dengan pemungutan suara terbanyak atau voting. Mahasiswa tentu tidak memiliki daya politik apapun untuk mewakili dirinya. Sebab ia mendapati kekalahannya, dalam berhadapan dengan arus kepentingan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan, sedari kuantitasnya. Pula dengan posisi strategis atau berpengaruh yang tak dapat diduduki oleh mahasiswa. Meskipun ia berdrama bak sinetron siang bolong untuk walkout dalam forum, keputusan tentu tetap akan disepakati walau suaranya sama sekali tidak termuat.
Prospek demokratisasi kampus untuk pelibatan mahasiswa dalam mengatur dan mengontrol universitasnya sendiri, bahkan sejak BEM-U diinisiasi sebagai organisasi sentralistik oleh birokrasi universitas, telah terberangus. Insyaf dengan realitas, maka kebuntuan seperti yang telah dideskripsikan di awal narasi harus menemui jalan keluarnya. MWA akan tetap berjalan dengan ada atau tanpa mahasiswa, kondisi tersebut telah berlangsung selama periode pertama MWA.
Melalui ini, kebuntuan yang menimpa harus menjadi lompatan untuk melampaui segala impunitas tuntutan selama ini. Satu kursi Presiden BEM-U bukan menjadi jawaban dari perwujudan demokratisasi kampus. Sebab secara struktural, BEM-U tidaklah demokratis dengan sentralisme-nya yang melekat, dan distribusi kursi untuk mahasiswa dalam MWA jua serupa tidak demokratisnya. Kini mahasiswa hanya terpaut pada dua pilihan kritis untuk memastikan ketidakmungkinan: Okupasi MWA [Tidak melalui BEM-U/apapun nama lainnya] atau boikot sama sekali!
Penulis: Nicholas
Editor: Nomi
No Comment