Oleh: Nicholas

  • Judul : Peradaban dan Kekecewaan Manusia
  • Penulis : Sigmund Freud
  • Penerbit : Pustaka Pelajar
  • Tahun : 1930 (Terjemahan 2007)
  • Halaman : 142 hlm; 14 x 21cm
  • Kategori : Filsafat & Psikoanalisis

Civilisation (n). Human society with its well developed social organizations, or the culture and way of life of society or country at a particular period in time. (Cambridge Dictionary).

Merujuk pendefinisian peradaban (Civilisation) dari Cambridge Dictionary, mungkin kita telah dapat menggarisbawahi dari penjelasan mengenai peradaban. Peradaban selalu ditandai dengan adanya kemajuan akal budi (logos) manusia, seperti pola-pola teratur interaksi manusia, kemutakhiran teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan, seluruh bentuk institusi yang semakin kompleks, moralitas, perkembangan tata pemenuhan kebutuhan manusia (ekonomis maupun psikis) dan lain sebagainya. Semuanya merupakan himpunan komponen pembentuk peradaban hari. Melalui peradaban, manusia kemudian menjadi makhluk ‘jinak’ pertama di bumi dan yang membedakannya dari sekedar hominid pada perkembangan sebelumnya.

Kebahagiaan dan Penderitaan

Freud telah menyinggung ̶ bahwa apa yang paling manusia dambakan adalah mencapai kebahagiaan ̶ meskipun kebahagiaan merupakan hal yang kadar subjektivitasnya melampaui kanal-kanal batas dan sangat bergantung bagaimana peradaban mengonstruksinya.

Menurutnya, sumber penderitaan datang dari tiga arah. Sumber penderitaan yang pertama berasal dari dalam diri sendiri, yang dengan sendirinya akan menjadi rapuh dan mati sebab secara alamiah manusia memiliki ketangguhan yang sangat terbatas. Kedua adalah dari dunia luar (alam), yang dengan ganasnya dapat menghancurkan manusia sekejap tanpa adanya belas kasihan. Dan yang ketiga adalah dari relasi antar manusia itu sendiri, atau dalam artian ini ialah peradaban. Freud lebih lanjut menuliskan, bahwa kita cenderung menganggap sumber yang terakhir itu adalah sumber penderitaan yang paling menyakitkan. Sebab kita akan senantiasa berpendapat bahwa itu hanyalah ketidaksengajaan dan kebetulan, ataupun bahkan menganggap hal itu memang sebagaimana adanya (taken for granted).

Mengenai kebahagiaan, dalam artian sempit, ia timbul dari pemuasan terhadap kebutuhan atau keinginan lama yang tak terpenuhi dan mencapai intensitas yang besar. Manusia diatur oleh program kerja eros (pleasure principle) untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan, tetapi sepertinya program tersebut tak akan pernah berjalan sesuai sebab sangat berlawanan dengan dunia luar yang ada (realitas). Insting yang mendapatkan ruang untuk pemuasannya akan berbuah menjadi kebahagiaan, dan ia akan menjadi penderitaan ketika otoritas atau dunia luar tak membiarkan insting mendapat kepuasan. Maka dari itu, manusia cenderung membatasi pengungkapan dan pengejawantahan dari semesta instingtualnya.

Setidaknya ada beberapa kanal dalam mencari celah kepuasan di tengah tuntutan-tuntutan peradaban: deseksualisasi (sublimasi) energi kepada kesibukan minat atau kerja estetis dan intelektual, menemukan segala perangkat pemuasan pengganti, dan penggunaan bahan-bahan intoksikasi (memabukkan).

Semesta insting: Eros dan Thanatos

Dalam menggapai kepuasan  ̶  selain eros  ̶  ada bentuk insting yang lain, yaitu thanatos atau disebut sebagai insting maut. Keduanya sama-sama bekerja mecari celah kepuasan tetapi pada alur yang berbeda. Jika eros bersifat mempertahankan substansi organik dan mengakumulasinya, maka thanatos bersifat destruktif atau menghancurkan dan berusaha menggapai substansinya yang inorganik. Perbedaan antara substansi organik dan inorganik ini tetap berangkat pada muara dan berusaha mencapai tujuan yang sama: realisasi hasrat.

Thanatos adalah dorongan-dorongan dalam diri untuk kembali ke rahim ibu dengan kekekalan yang utuh dan lestari. Ketika dalam kehidupan yang penuh penderitaan, tak ada atau hanya sedikit kesempatan bagi eros untuk merealisasikan dirinya, maka agresi ataupun mati adalah salah satu opsi kepuasan.

Hipotesis Freud mengenai thanatos bahwa tak kadang insting ini menjadi terarah ke dunia luar dan menampakkan dirinya sebagai insting agresi dan tentunya bersifat destruktif. Thanatos dapat melebur bersama eros dengan ditandai bahwa seseorang harus menghancurkan sesuatu, baik hidup ataupun tidak, agar ia tidak menghancurkan dirinya sendiri.

Freud mengindikasikannya pada binatang yang insting inorganiknya (thanatos) memang sulit dideteksi atau mungkin perkembangan ilmu pengetahuan belum dapat menjelaskannya. Namun, ia menjelaskan lebih dalam mengenai sadisme dan masokhisme dalam kehidupan erotis manusia.

Kita dapat mengidentifikasi sadisme sebagai kasus dimana eros dan thanatos beriringan dan mengarah ke dunia luar atau objek seksual. Sedangkan mashokisme juga memiliki pengertian yang sama tetapi mengarah ke dalam diri atau subjeknya.

Asal Usul Peradaban

Peradaban adalah sesuatu yang membedakan manusia dari spesies lainnya. Ia telah menjinakkan manusia dengan menuntut segala kepatuhan, keindahan, kebersihan, kedisiplinan, dan ketertiban. Ia adalah sesuatu yang berkenan dengan hubungan sosial antar manusia. Freud menekankan bahwa dalam mengetahui perkembangan peradaban, kita dapat melihatnya pada ranah individu dalam perkembangannya menuju tahap kedewasaan atau alur bagaimana seonggok individu terintegrasi ke dalam masyarakat.

Kita bisa melacak asal usul peradaban pada awalnya bagaimana timbulnya tuntutan-tuntutan dalam kehidupan bersama (alturistik). Tepatnya ketika dalam suatu entitas (keluarga, marga, atau komune) mulai tercipta persatuan antar individu yang kemudian memiliki kekuatan atau otoritas yang lebih ketimbang individu tunggal. Dengan terciptanya entitas ini, pemuasan semesta insting individu kini telah dibatasi sebab ia berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar ketimbang ia. Setiap individu kini memiliki tanggungjawab dan mulai melepaskan segala kepentingan dalam memenuhi semesta instingtualnya.

Freud awalnya menjelaskan pengekangan hasrat seksual manusia oleh peradaban. Seksualitas telah ditabukan dengan segala bentuk-bentuk larangan dan hanya ditujukan sekedar kepentingan reproduksi. Tabu seksualitas itu sendiri berbentuk seperti incest, homoseksual, poligami maupun poliandri dan lain sebagainya dan kewajiban untuk hexogami dan heteroseksual.

Peradaban telah menstandarisasi kehidupan seksual untuk menciptakan adanya kesamaan identik dalam pemenuhanan hasrat seksual tanpa mempedulikan sifat bawaan dan struktur mental individu. Ia telah mengambil banyak energi dari insting seksual dan menjadikannya sebagai organ yang paling pasif dan mati. Jika saja seksualitas tak memiliki fungsi reproduksi, maka tak ada lagi sepetak ruang dalam peradaban baginya.

Ada lagi yang dituntut oleh peradaban: cinta terhadapnya dan persamaan identitas. Mengapa peradaban menuntut kedua hal tersebut? sebab dari dalam diri manusia juga terdapat insting agresi yang tak kadang mengarah ke luar. Freud menggambarkan bahwa manusia bukanlah makhluk yang baik hati dan bersahabat, melainkan ia juga melihat segala sesuatu yang hidup maupun mati itu sebagai kesempatan mengekspresikan insting agresinya (thanatos) yang mengarah ke dunia luar.

Maka dari itu, peradaban akan selalu menuntut adanya cinta individu yang universal, yang tidak lainnya merupakan penundukan, untuk menciptakan adanya kesamaan identitas dalam hidup bersama dan mengikatnya dalam suatu ikatan libido yang manifes (kebudayaan, suku, ras, negara). Insting destruktif itu dikembalikan kepada ego dan disublimasi sehingga tercipta hambatan demi hambatan dalam pengekpresiannya.

Kita mungkin telah dapat menarik sebuah konklusi  ̶  bahwa sudah menjadi hal yang pasti  ̶  peradaban tak akan mengalami sebuah perkembangan tanpa adanya segala bentuk pengekangan dan sublimasi insting pada individu. Pengekangan oleh peradaban inilah yang mendominasi seluruh bidang dalam hubungan sosial.

Rasa Bersalah dan Superego

Dalam buku ini, tidak sedikit juga menyinggung soal rasa bersalah oleh individu kepada totalitas peradaban. Mengapa sang individu merasa bersalah atau yang disebut kaum relijius sebagai dosa? Freud sama sekali tidak puas jika jawabannya adalah sang individu telah melakukan perbuatan yang dianggap oleh peradaban sebagai ‘bertentangan’. Sebab rasa bersalah itu sendiri bukan hanya menyoal perbuatan saja, melain juga mengakar ke dalam niat akan melakukannya. Orang-orang saleh tentu akan tetap merasa bersalah jika ia sekedar berniat tanpa sempat melakukannya.

Struktur kedirian berdasarkan teori gunung es oleh Freud

Asal usul rasa bersalah ̶ yang di rujuk Freud ̶ adalah karena ketakutan sang individu akan kehilangan cinta dan perlindungan atas otoritas luar. Lalu mengapa perbuatan dapat disetarakan dengan niat? Sebab otoritas luar itu sendiri tidak hanya berada ‘di luar’ individu, tetapi juga telah terinternalisasi dan menjadi Superego di dalam diri. Superego inilah kemudian berperan sebagai pengadilan yang bengis dalam diri setiap individu pada ranah kesadaran dan bahkan ketidaksadarannya.

Superego dalam mengadili individu, mendapatkan agresivitas dari energi insting agresi individu yang sebelumnya ingin mengarah ke dunia luar, tetapi kemudian diserap oleh superego, yang kemudian berbalik arah ke individu itu sendiri. Ia telah mengintegral di setiap relung dalam diri individu. Maka dari itu  ̶ subjek yang dikatakan ‘normal’ oleh peradaban  ̶  insting individu selalu dalam keadaan terkekang, baik dari dalam maupun dari luar.

***

Resensi ini tentu terlalu singkat untuk merangkum pembahasan Freud yang begitu kompleks. Namun dalam buku ini, setidaknya kita dapat menggarisbawahi, bahwa penderitaan-penderitaan yang dihasilkan oleh peradaban tentunya tetap dapat dikurangi atau setidaknya diringankan.

Setalah membaca buku ini, Rene Descartes dengan cogito ergo sum-nya dapat disebut hanyalah salah satu pembenaran dari setiap penindasan, kanalisasi dan pengekangan insting. Dongeng sebelum tidur mengenai makhluk dengan akal budinya adalah otonom dari segala bentuk ketidaksadarannya adalah kebohongan besar, dan Freud adalah salah satu yang membuktikan kebohongan itu. Peradaban pada taraf apapun itu akan selalu berusaha untuk membunuh semesta insting manusia, atau paling tidak mengalihkannya kepada saluran-saluran tertentu.

Previous Winter Elegy dari Negeri Beruang Merah
Next Korporatokrasi MWA dan Impotensi Daya Politik Satu Kursi Mahasiswa

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *