“Tak akan ada ibu yang membesarkan seorang anak untuk menyaksikan nyawa anaknya direnggut oleh selongsong senapan aparat. Tak akan ada sehimpun masyarakat di pelosok mana pun, dengan segala kebersatuan dalam semesta, menjaga beribu petak tanah dan hutan hanya untuk menyaksikannya dirampas lalu dieksploitasi oleh korporasi. Tak akan ada seseorang yang membangun sebuah rumah dan keluarga kecil hanya untuk diruntuhkan serta diganti dengan jalanan atau dinding-pagar atas nama pembangunan. Namun negara dan kekuasaan, pada watak mendasarnya, terlalu amoral untuk kemanusiaan!”
catatankaki.org — Di keseharian, modus kehidupan dalam suatu masyarakat yang terpecah ke dalam kelas-kelas sosial yang berbeda, rentetan petikan miring mengenai represivitas negara di atas adalah hal yang mutlak adanya. Dimana dan kapan saja. Terlebih pula, di Papua yang sedang berada dalam kontrol kapital global dan kekerasan negara. Rentetan kekerasan yang tercatat di Papua, pada dasarnya merupakan hal yang sangat kompleks, struktural dan mengkar pada alur historisnya. Karenanya, Papua tidak pernah terlepas dari konflik serta isu pelanggaran HAM.
Senin (10/12/2018), bertepatan dengan International Human Rights Day (Hari HAM Internasional), adalah hal yang perlu termuat dalam catatan tersendiri bagi Universitas Hasanuddin. Tajuk diskusi “Memoar Papua dan Rentetan Pelanggaran HAM”, melalui segala upaya persekusi dari Organisasi Masyarakat Pemuda Pancasila (PP) beserta jajarannya yang mengatasnamakan kesatuan negara dan bangsa, bersikeras agar diberangus.
Diskusi yang ditujukan sebagai peringatan hari HAM Internasional tersebut, selain mengangkat isu HAM, juga mencoba membahas terkait kekerasan di Papua. Perlu ditekankan, tajuk diskusi ini bukanlah serta merta berarti bahwa penginisiasi kegiatan memiliki dukungan politik terhadap gerakan separatisme di Papua, melainkan sebagai upaya akademis untuk membedah rentetan konflik dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Walaupun stigmatisasi semakin meruncing terhadap orang Papua pasca kasus penembakan karyawan PT. Istaka Karya di Kabupaten Nduga 3 Desember lalu, tidak menyurut inisiasi untuk tetap membahas Papua beserta kekerasan yang telah menyejarah. Bahkan, kondisi saat ini di beberapa kota telah menegang dan hal-hal rasial memuncak antara warga non-Papua dan Papua itu sendiri.
Di Makassar, hal tersebut dipertegas oleh beberapa korban serangan sayap militer OPM di Nduga lalu, berasal dari Sulawesi Selatan. Asrama mahasiswa Papua di Makassar telah sarat akan teror dan menjadi sasaran persekusi. Namun hal tersebut sebenarnya tidak terlepas dari peranan fasis yang mewujud dalam Organisasi Masyarakat yang terus mempertajam stigma kepada orang Papua.
Poster diskusi yang tersebar melalui media sosial sehari sebelum kegiatan yang tak lama berselang, ditanggapi oleh salah seorang anggota Pemuda Pancasila. Dalam lansiran akun Facebook ternama Bang Zul Kifli, mengunggah status Facebook dengan caption “SAAT INI MASYARAKAT MAKASSAR DAN INDONESIA SEDANG BERDUKA, 31 SAUDARA KAMI TERBUNUH DI PAPUA DAN BESOK SENIN 10 DESEMBER 2018 KALIAN MASIH SAJA AKAN MELAKUKAN DIALOG YANG SEAKAN MENDUKUNG PERGERAKAN PARA KELOMPOK PEMBERONTAK”.
Dalam akhir statusnya yang manis, ia mengajak segenap masyarakat atau siapapun untuk memberangus diskusi yang akan diadakan. Ia dengan membabi buta memvonis diskusi tersebut sebagai dukungan terhadap gerakan Papua Merdeka, seraya menulis lantang “ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR”.
Kembali dalam tajuk diskusi “Memoar Papua dan Rentetan Pelanggaran HAM”, saat sedang menginisasi perlengkapan kegiatan sekitar Pukul 14.27 Wita, salah seorang pelaksana diskusi mendapatkan panggilan oleh Dekanat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Dari Dekan, diskusi yang satu jam lagi akan dijalankan di Student Center FEB tersebut dipaksa agar dibatalkan.
Kepada ia, Dekan FEB mengaku telah dihubungi oleh Ketua Pemuda Pancasila Sulawesi Selatan agar menginstruksikan diskusi tersebut diberangus. Akhir narasi, dengan mempersoalkan alasan izin dan keamanan, birokrasi FEB mengancam Drop Out (D.O.) kepadanya bahkan tanpa proses persidangan jika diskusi tetap dijalankan di Student Center.
Wakil Rektor III, Arsunan Arsin beserta jajarannya pun menyempatkan berkunjung ke FEB untuk memastikan diskusi tersebut tidak berjalan. Tidak hanya pada titik itu, Agussalim S.IP., MIRAP sebagai pemateri diskusi dari akademisi Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, telah dicegat oleh pihak rektorat universitas untuk terlibat karena permasalahan keamanan.
Namun diskusi tetap berlanjut, meski ruang dalam kampus sendiri mencapai puncak krisisnya. Dari Student Center, diskusi harus beralih ke Pelataran Baruga A. P. Pettarani, dan berjalan dengan penuh intaian intelijen dan keamanan kampus.
Tinjauan Normatif
Dari rentang kronologis di atas, ada beberapa penyelewengan hak yang diatur oleh hukum jika memisahkannya satu persatu. Pertama, Pasal 19 ayat (1) dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik disebutkan “Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.” Lebih lanjutnya, Pasal (2) juga berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya”.
Kedua, Bahkan sejatinya, kebebasan untuk berdiskusi dijamin sebagai hak konstitusional. Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 berimbuh, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Ketiga, UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga telah menjunjung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, otonomi keilmuan. Mengerucutnya, Pasal 8 ayat (3) “Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggungjawab pribadi civitas akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi”
Melalui ini pula ditegaskan, bahwa mahasiswa sendiri memiliki hak atas kebebasan akademik. Imbuh Pasal 13 ayat (2) sebagaimana “Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.” serta ayat (3) “Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.”
Jika diurai, titik penyelewengan hak terdapat pada:
- Organisasi Masyarakat fasis Pemuda Pancasila sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan, mencampuri, membatasi, mengancam atau bahkan memersekusi kegiatan diskusi yang diadakan oleh mahasiswa atas landasan yang tidak memadai;
- Universitas wajib melindungi dan memfasilitasi diskusi sebagai bagian kegiatan akademik oleh mahasiswa. Dan jika universitas turut dalam upaya pemberangusan diskusi selayaknya Pemuda Pancasila, maka universitas telah gagal menjamin kebebasan akademik itu sendiri; dan
- Intimidasi D.O. kepada salah seorang pelaksana diskusi tanpa melalui proses persidangan pun, sesuai ancaman Dekan FEB, juga merupakan pelanggaran terhadap jalur formil suatu sidang Komisi Disiplin universitas.
Universitas Sebagai Miniatur Negara
Mengurai gelagat universitas yang justu tidak dapat menjamin, menjunjung tinggi atau memfasilitasi kebebasan akademik mahasiswa tentu mempertegas kedudukan universitas dalam tatanan masyarakat: sebagai aparatus ideologis negara. Louis Althusser, dalam karyanya Ideology and Ideological State Apparatuses, menekankan bahwa modus negara dalam mengontrol rakyatnya sendiri jua menggunakan pendidikan sebagai aparatus ideologisnya. Aparatus ideologis ini tidak lainnya merupakan aparatus yang tertampak bekerja tanpa adanya unsur kekerasan dan bekerja dengan mengonstruksi kesadaran serta hal non-material lainnya.
Upaya pemberangusan diskusi di ruang akademis oleh birokrasi universitas sendiri adalah perwujudan fasisme yang dijiplak kembali oleh universitas. Namun secara mendasar, universitas nyatanya adalah miniatur suatu negara. Universitas sekali lagi telah tertegaskan bahwa ia bukanlah medan yang bebas nilai, dimana kekuasaan negara tetap menjangkar dalam wilayah intelektual, akademik dan ilmiah.
Jika asosiasi separatisme terhadap Papua oleh negara dianggap sebentuk “tabu” atau sesuatu yang sepatutnya untuk diberangus, maka universitas sendiri memiliki peranan untuk menganalisasi, mengalihkan, mengontrol atau bahkan memberangus kegiatan akademik yang bersinggungan dengan kekerasan negara di Papua.
Refleksi rupa universitas, secara tidak langsung, sebagai rupa masyarakat secara keseluruhan. Pembatasan kebebasan akademik bagi mahasiswa, dapat pula menjadi pembatasan hak-hak masyarakat yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan oleh negara. Keterkaitan ini dilandasi oleh kedudukan universitas yang menjadi perpanjangan tangan negara itu sendiri serta antara mahasiswa dan masyarakat yang berkedudukan sama sebagai objek yang diatur (Populasi).
Dalam alur peristiwa ini, baik universitas, aparatus represif maupun organisasi masyarakat tetaplah berkedudukan sejajar dengan tujuan yang sama: memberangus kritisisme mahasiswa dan masyarakat agar status-quo tatanan tetap mapan, meski hak-hak yang telah dijamin harus pula terberangus. Bila universitas sendiri bukanlah ruang kritis dan mewujud sebagai fasis dalam skala akademik, maka nalar kritis akan seterusnya berada dalam sekapan kekuasaan!●
***
If you tolerate this then [your next generation] will be next!
Penulis: Nicholas & Nomi
No Comment