Oleh: Johan

Meskipun jalur advokasi sedemikian beragamnya, pada konteks tertentu, mestinya ada jalur yang efektif dan transparan bagi semua. Bila yang satu menuai jalur buntu, jalur lain masih membentang luas.

Beberapa minggu terakhir, mahasiswa dikagetkan dengan terbitnya pengesahan Surat Keputusan Rektor tentang Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) tertanggal 26 April 2018. Terbitnya SK Rektor ini pun menuai banyak tanggapan dari berbagai lembaga kemahasiswaan.

SK Rektor memang sudah tidak lazim di telinga para mahasiswa karena pembahasan ini sudah muncul pada akhir tahun 2016 lalu. Kemunculannya pun tidak jauh dari statuta PTN-BH Universitas Hasanuddin (Unhas) tahun 2015 yang dilegitimasi dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 tahun 2015 tentang statuta Universitas Hasanuddin. Dalam PP 53 tahun 2015, menginstruksikan Unhas untuk membuat peraturan mengenai Organisasi kemahasiswaan (ORMAWA) yang berada dilingkup Unhas. Terlihat pasal 49 ayat 4 berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai Organisasi kemahasiswaan di unhas diatur dengan peraturan rektor.”

Semenjak disahkannya SK Rektor, BEM/Senat Fakultas se-Unhas merespon dengan melakukan lima kali pertemuan. Pertemuan pertama dan kedua BEM/Senat Fakultas se-Unhas diisi dengan pengkajian awal terhadap isi Peraturan Rektor (PR) tentang ORMAWA. Setelah melakukan pengkajian, BEM Fakultas se-Unhas mengambil kesimpulan untuk menolak SK Rektor karena dianggap tidak mengedepankan nilai-nilai demokratis.

Alasannya, pada tahun 2017 lalu, pertemuan yang dilakukan BEM/Senat Fakultas dengan pihak Rektorat yang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Mahasiswa dan Alumni (WR III), Ir. Abdul Rasyid Jalil. Ia berjanji untuk mengadakan pertemuan lanjutan untuk memberi waktu kepada BEM Fakultas agar menawarkan draft revisi SK Rektor. Waktu yang diberikan yakni dua minggu setelah pertemuan.

Seminggu berselang, perwakilan BEM/Senat Fakultas se-Unhas memberikan draft revisi SK Rektor kepada sekretaris WR III di ruangannya. Namun semenjak disahkannya SK Rektor, tak ada pertemuan lanjutan yang dijanjikan untuk membahas revisi. Dalihnya, Abdul Rasyid menyatakan bahwa draft revisi SK Rektor terlambat dibawa oleh perwakilan BEM/Senat Fakultas.

Berdasarkan hasil analisis, SK Rektor yang telah disahkan dianggap merugikan organisasi mahasiswa yang isinya sangat jelas akan membatasi gerak laju organisasi mahasiswa. Seperti yang tertera pada pasal 2 BAB II mengenai Prinsip dan Tujuan, pasal tersebut memuat larangan bagi lembaga kemahasiswaan untuk berafiliasi dengan organisasi eksternal. Pasal ini menghambat sinergitas lembaga kemahasiswaan Unhas dengan jejaring organisasi ekstra yang pada umumnya memiliki ikatan tugas pokok dan fungsi yang sama maupun dengan jejaring eksternal yang sejenis.

Selanjutnya pada pasal 9 BAB VI terkait Kegiatan Organisasi Kemahasiswaan pada poin 3 mengenai “kegiatan kemahasiswaan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan internal kampus.” Hal ini dinilai sebagai pasal yang bersifat multitafsir karena tidak adanya kejelasan aturan perundang-undangan maupun aturan internal kampus yang dimaksud.

Hampir senada dengan pasal di atas, dalam pasal 10 BAB VI yang membahas tentang perizinan kegiatan lembaga kemahasiswaan, mengatur agar lembaga kemahasiswaan juga mesti mendapatkan izin atau surat rekomendasi dalam melaksanakan kegiatan. Secara tidak langsung pasal ini tidak memberikan keleluasaan dalam melakukan kegiatan. Selain itu, hal yang mengherankan pula, SK Rektor ini mencantumkan mengenai BEM Universitas yang tertera pada pasal 4 BAB III. Padahal, berdasarkan pertemuan BEM Fakultas se-Unhas dengan pihak rektorat, terdapat kesepakatan untuk tidak membentuk BEM Universitas.

Dengan pengesahan SK Rektor, pihak rektorat mengundang kepada ketua BEM/Senat Fakultas se-Unhas untuk menghadiri undangan diskusi terkait PR ORMAWA dan perjalanan islami di Hotel Max One di jalan Makam Pahlawan pada hari Senin, 4 Juni. Merespon undangan ini, BEM/Senat Fakultas melakukan pertemuan kembali. Hasilnya, BEM/Senat Fakultas membuat pernyataan sikap menolak pengesahan SK Rektor tersebut dengan menyetor surat pernyataan sikap masing-masing BEM/Senat ke rektorat.

Kemudian dilanjutkan dengan menghadiri acara di hotel Maxone. Diskusi tersebut dihadiri oleh Senat Ekonomi, Hukum, Sospol, FK, FKM, Kehutanan, Farmasi, Faperta, FIKP, Keperawatan, Teknik, FKG. Hasil dari diskusi, akan diadakan pertemuan lanjutan pada tanggal 25 Juni membahas mengenai pasal-pasal yang perlu diperjelas dan pembuatan SOP (turunan PR ORMAWA).

Tapi jika ditelaah secara historis, pengadvokasian melalui jalur-jalur negosiasi/lobi yang telah dijanjikan oleh rektorat  untuk BEM/Senat fakultas, pada kenyataannya tidak pernah berhasil. Lihat saja pada aksi menuntut kenaikan upah cleaning service yang secara terang-terangan rektor Unhas mengatakan akan ada pertemuan lanjutan di tengah-tengah massa aksi. Namun sampai sekarang tidak pernah terwujud. Dijelaskan juga di awal tulisan bahwa pada tahun 2017 lalu, jalur negosiasi sebelum disahkannya PR ORMAWA juga tidak menemukan titik terang. Namun, hasilnya PR ORMAWA tersebut dengan lancarnya disahkan oleh rektorat.

Pada dasarnya, PR ORMAWA disahkan salah satunya akibat kurangnya respon mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh rektorat. Karena gerakan mahasiswa di lingkup UNHAS sudah terstigma terkait gerakan yang mengandalkan jalur-jalur litigasi. Pada kenyataannya tidak pernah ada yang berhasil sebab pada jalur litigasi yang ditempuh BEM/Senat Fakultas se-Unhas tidak memiliki tekanan politis terhadap Birokrasi Kampu sehingga birokrasi dengan mudah meninabobokan BEM/Senat Fakultas se-Unhas dengan janji-janji.

Masalah lain yang terjadi di gerakan mahasiswa saat ini adalah munculnya ego masing-masing lembaga yang ada di lingkup Unhas. Mayoritas mereka mengedapankan jalur litigasi dan mengesampingkan jalur non-litigasi.

Dilihat pada pertemuan terakhir BEM/Senat Fakultas se-Unhas yang diadakan di lingkup Unhas, terdapat BEM/Senat yang mundur jika PR Ormawa ini ditolak. Padahal pada pertemuan sebelumnya, BEM/Senat Fakultas se-Unhas telah menyatakan sikap dan telah menyetornya di pihak rektorat untuk menolak pengesahan PR ORMAWA tersebut.

Mungkin penyebabnya adalah BEM/Senat Fakultas tersebut ingin meraih penghargaan yang sangat “mulia” dari bidang kemahasiswaan rektorat sebagai BEM/Senat Terbaik se-Unhas – seperti yang dicapainya tahun lalu. Maklum saja pengaruhnya sangat signifikan dalam pengambilan proyek kemahasiswaan rektorat (pencairan dana kemahasiswaan, proporsi beasiswa, dll).

Melihat kondisi kurangnya tekanan politis yang diciptakan BEM/Senat Fakultas se-Unhas kepada birokrasi kampus, mari melirik gerakan mahasiswa yang terjadi di Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada beberapa waktu lalu dengan melakukan Pendudukan Gedung Rektorat selama lima hari berturut-turut. Gerakan ini dapat menciptakan ancaman atau tekanan politis kepada pihak Rektorat dengan lumpuhnya kegiatan administrasi kampus. Mungkin gerakan ini adalah salah satu cara untuk menciptakan tekanan politis terhadap birokrasi Unhas.


Penulis adalah mahasiswa biasa dengan golongan UKT IV.

Angkatan 2015.

Previous Untuk Manusia ‘Zaman Now’: Komunisme Adalah Ilmu Perihal Manusia
Next Peziarah Robotem Pintu Dua

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *