Oleh: Neng Ivlis
Bila formalitas yang kita terapkan dalam ruang kelas adalah kekakuan yang mesti kita maknai ulang lagi, maka segudang teori dari buku teks yang melulu kita diskusikan di dalamnya hanyalah representasi dari realitas sosial yang menjadi laboratorium riil bagi kita di luar sana juga mesti kita evaluasi berkali lipat lagi. Because the thing is out there!
Bukan hal yang aneh bagi seorang pelajar apalagi mahasiswa untuk mendengar dan mengetahui arti kalimat dalam judul tulisan ini. Belajar yang dilakukan setiap waktu oleh setiap orang merupakan sebuah proses dalam memperoleh informasi.
Dalam KBBI, belajar berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya mengetahui. Sedangkan “bel-ajar” yakni kata ajar yang diberi imbuhan prefiks “bel-“ yaitu berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Dalam hal ini, sebenarnya ilmu bisa didapat dari mana saja dan kapan saja. Belajar juga merupakan hal yang wajib bagi manusia, karena manusia memiliki akal yang membedakannya dengan makhluk hidup lain. Dengan akal juga manusia diberikan kebebasan berpikir, dan tak ada yang bisa membatasi pemikiran manusia. Bukan hal yang aneh bagi seorang pelajar apalagi mahasiswa untuk mendengar dan mengetahui arti kalimat dalam judul tulisan ini. Belajar yang dilakukan setiap waktu oleh setiap orang merupakan sebuah proses dalam memperoleh informasi.
Namun, yang menjadi masalah adalah ketika ruang belajar itu di persempit. Melihat realita hari ini, dalam dunia pendidikan, ruang belajar mulai di persempit dengan aturan-aturan yang ada di ruang kelas formal. Ruang kelas formal menjadi tempat dimana peserta yang diajar dikungkung (semoga ajha gak di baptis lho yach!) untuk bersikap formal sesuai aturan. Adanya aturan yang mengatur berpenampilan, bersikap juga berpikir yang semata-mata hanya untuk mempermudah pembuat aturan dalam menjalankan pekerjaannya.
Tak lain pula dengan mahasiswa dalam kehidupan kampusnya hari ini. Masih banyak mahasiswa yang belum menyadari dan memahami arti dari kalimat dalam judul tulisan ini. Bahkan penulispun baru bisa mengerti setelah masuk dalam dunia kampus, setelah sekian lama mendengar dan mengetahui kalimat tersebut. Jadi, dari sinilah penulis ingin berbagi pengalaman dalam sedikit keberhasilannya memahami arti dari kalimat tersebut.
Masih banyak pelajar juga mahasiswa yang menganggap bahwa pembelajaran formal dalam ruang kelas adalah satu-satunya metode yang sangat efektif dalam memperoleh informasi/ilmu. Namun, penulis kurang setuju dengan anggapan ini. Ruang kelas memang memberikan informasi kepada pesertanya, namun ini bukanlah satu-satunya metode yang efektif dalam memperoleh ilmu. Terutama untuk mengasah pemikiran kritis mahasiswa, namun tidak setiap ruang formal seperti itu, hanya beberapa. Sudah dikatakan tadi bahwa ruang kelas formal adalah tempat dimana aturan-aturan dalam proses belajar mengajar dijalankan.
Seperti berpenampilan misalnya, ada standarisasi khusus yang dibuat oleh pembuat aturan dalam menilai penampilan “layak” dalam dunia akademis, yang terkadang jika dipikir-pikir tidak ada hubungannya antara proses pemberian-penerimaan ilmu dengan penampilan seseorang. Aturan bersikap, dari aturan ini peserta yang menerima ilmu seakan-akan di eksploitasi mentalnya. Dalam artian, di dalam ruang kelas formal orang yang memberikan ilmu adalah orang yang memegang kuasa, yang berperan selayaknya tuhan dan selalu benar. Sehingga para penerima ilmu haruslah patuh terhadap perintahnya, jika tidak maka hasil evaluasi perkuliahan dan nilai akan jelek, lalu selanjutnya juga akan mendapat hukuman dsb. Kita sudah terlampau sering memberi toleransi akan hal ini, lalu mengapa dosen-dosen itu tak mau bergiliran memberi toleransi pada kita demi ruang-ruang yang demokratis, berkeadilan, dan dialektis?
Untuk mahasiswa, eksploitasi mental ini sangatlah berpengaruh terhadap pergerakan mahasiswa. Mengapa? Karena mahasiswa dijatuhkan mentalnya sehingga mudah takut kepada dosen dan juga birokrat, dan pembungkaman secara haluspun terlaksana.
Tak kalah penting juga yakni aturan berpikir. Dalam ruang kelas formal, eksploitasi pemikiran pelajar terutama mahasiswa dibentuk dan di konstruksi. Dengan aturan-aturan sebelumnya yang dipaparkan, mahasiswa akan berpikir bahwa jika tidak menuruti aturan-aturan, maka tidak akan bisa lulus dan memiliki pekerjaan yang layak.
Pemikiran seperti ini adalah salah satu konstruk yang terbentuk dan menjejal kita di ruang kelas. Belum lagi dengan adanya beberapa tenaga pengajar yang tidak mebolehkan peserta ajarnya mengungkapkan pemikiran kritis yang bertolak belakang dengan pemikirannya, Tidak menerima saran, sehingga menciptakan kelas yang tidak demokratis.
Mereka yang juga merupakan sebagian dedengkot dosen, beranggapan bahwa ruang kelas formal itu sangatlah penting dikarenakan adanya metode absensi. Tak jarang mahasiswa yang jenuh atau bosan dalam mengikuti proses pembelajaran dalam ruang kelas formal, namun karena adanya sistem absensi yang menentukan kelulusan mereka, maka mereka tidak memiliki pilihan lain. Padahal ironisnya, masih sangat lumrah ditemui kelas tanpa dosen yang mangkir entah dimana yang mestinya dipantau dan diabsensi (agar berkeadilan). Ditambah lagi akibat dari adanya aturan-aturan ini akan menumbuhkan budaya kompetitif dan saling sikut sesame mahasiswa dalam ruang kelas formal tersebut.
Jika dalam ruang belajar formal yang memiliki berbagai aturan itu, mungkin lebih cocok untuk dikatakan sebagai penjara bagi para pelajar dan mahasiswa. Tak jarang pula pelajar maupun mahasiswa yang mengalami depresi akibat proses pembelajaran dalam ruang formal, bahkan paling buruknya adalah hingga nekat bunuh diri.
Beruntung penulis menyadari bahwa ruang belajar non-formal yang dapat terbentuk dari interaksi sosial sehari-hari di luar jam kelas formal juga adalah metode belajar yang sangat ringan, dapat membantu memulihkan mental dan pikiran para pelajar dan mahasiswa yang dibentuk dalam kelas formal. Tak ada aturan yang mengikat, hanya sekedar berinteraksi sambil membahas sesuatu hal tertentu, baik yang “ringan”, “seolah-olah ringan”, hingga yang “berat”, dan “seolah-olah berat”.
Diskusi-diskusi atau interaksi yang terjadi antara sesama mahasiswa, sesama teman, senior bahkan alumni sekalipun, lebih mudah dimengerti dan lebih mewadahi dalam berpikir kritis karena disana tak ada tekanan formalitas belaka. Mengajak untuk melihat realita sosial yang terjadi dalam kehidupan, dan melihat struktur juga kesenjangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kemudian mencari sabab-musababnya. Lebih membuka wawasan dan menyadarkan arti penting atau peran penting mahasiswa dalam masyarakat.
Yang sebagian besar dari itu belum tentu bisa didapat dalam ruang kelas formal ber-SKS dan ber-semester. Dari diskusi-diskusi ini juga akan menjadi wadah untuk melanggengkan pergerakan perjuangan mahasiswa tentang krisis yang terjadi mulai dari tingkat Jurusan, Fakultas, Universitas, Kota, Nasional, dan bahkan fenenomena Internasional sekalipun. Bukankah penindasan dan ketidakadilan dapat bercokol di ruang manapun di segala musim?
Kegiatan seperti inilah yang dinamakan balajar kapan dan dimana saja. Mudah dan simple, hanya dengan segelas minuman, sebundel tabloid, majalah atau buku baru, secangkir teh atau kopi, sebatang rokok (tapi aku sih gak ngerokok yah!), atau hanya dengan ikut nimbrung dalam sebuah kerumunan, bisa saling bertukar informasi. Bebas bertanya tanpa rasa malu, bebas berpendapat tanpa rasa takut, serta menunjukan identitas dirinya dengan penampilannya. Maka dari itu, budaya belajar kapan dan dimana saja harus selalu dilestarikan selagi masih hidup dan selagi ilmu terus berkembang. Lalu katakan ‘Tidak!’ pada pengajar yang tidak demokratis dan enggan berdialog. Bila keningmu mengernyit saat melihat sosok despotik seperti itu, mungkin saja kau adalah kawanku.●
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UNHAS.
Angkatan 2016.
No Comment