Oleh: Mumu’

Hari ini, kita benar-benar telah menghadapi suatu keadaan yang telah kita prediksi sebelumnya: Pendidikan hadir di hadapan kita sebagai barang dagangan belaka, selebihnya hanyalah aksesoris agar tampak tetap berada dalam area aktivitas berlabel “pendidikan”.

Tertanggal 4 Mei, Jum’at lalu, bertempat di Ruang Kerja Rektor UNHAS Prof. Dwia Aries telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) atas kerja sama dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk Wilayah Sulawesi Selatan untuk penyaluran student loan. Sebagaimana juga terjadi di beberapa universitas lainnya seperti UGM dan Universitas Negeri Malang (UM)[1], student loan telah tersedia melalui kerja sama antar Perguruan Tinggi dan Bank. Lantas dari mana student loan ini secara tiba-tiba hadir?

Titik awalnya dimulai pada bulan Maret lalu, ketika Jokowi mengeluarkan instruksi agar industri perbankan mengeluarkan produk kredit pendidikan atau yang kerap dikenal sebagai student loan. Sekilas, kredit pendidikan ini merupakan dana yang diberikan kepada mahasiswa untuk mengakses pendidikan dengan bentuknya berupa utang beserta persentase bunganya oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Bank. Student loan jelas berbeda dengan beasiswa maupun hibah, sebab kucuran dana tersebut akan dilunasi sepenuhnya oleh mahasiswa ketika ia telah menyelesaikan masa studinya dan mendapatkan pekerjaan. Sementara jaminan pekerjaan tidak pernah terdapat di langit masa depan manapun.

Jokowi mengeluarkan instruksi atas dalih peningkatan sumber daya manusia serta ‘solusi’ agar pendidikan dapat diakses oleh setiap kalangan. Industri bank tentu menyambut hangat instruksi Jokowi sebagai ladang garap yang basah kuyup dan kini sedang gencar-gencarnya mengusung kredit pendidikan tersebut.

Setelah Jokowi memberikan instruksi, BRI, BNI dan BTN (lebih dini mengeluarkan student loan) disusul dengan bank-bank yang lain. BRI sendiri menargetkan konsumen mahasiswa S2 dan S3 melalui Briguna Pendidikan bagi yang telah memiliki upah ataupun penghasilan tetap. Batas plafon atau limit kreditnya mencapai Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) serta jangka waktu bagi mahasiswa S2 yaitu 6 tahun dan S3 yaitu 10 tahun. BRI telah menaksir tingkatan suku bunga dari produk kredit pendidikannya sebesar 5%-6% per tahun.[2]

BNI sendiri telah mengeluarkan produk BNI Flexi Pendidikan dengan target konsumen yaitu dosen dengan kepentingan penelitian maupun mahasiswa dari S1 hingga S3. Begitupun BTN yang tengah menyasar mahasiswa dari S1 hingga S3 dengan kisaran bunga tetap 6,5% selama 5 tahun, belum termasuk bengkakan pengembalian bila rupiah terus menerus anjlok. Pada 8 Mei lalu bahkan rupiah melemah sebesar 3,44% di hadapan dollar dengan kisaran nilai tukarnya naik menjadi Rp14.074 (empat belas ribu tujuh puluh empat rupiah) per dollar.[3] Bank Indonesia (BI) sendiri sedang mengusung kebijakan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan, hal ini tentunya kemudian akan dapat berdampak pada meningkatnya bunga yang harus dilunasi bagi mahasiswa pengguna student loan.

Walaupun pernah diterapkan di Indonesia pada rezim orde baru, tepatnya dekade 1980an, student loan yang dinamakan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), dengan peruntukan guna menunjang pembiayaan mahasiswa semester akhir, kala itu terbilang gagal. M. Nasir selaku Menristekdikti merupakan salah satu penerima KMI. Alasan kegagalannya tidak lain adalah kredit macet atau gagal bayar (default). Pada konteks KMI, penahanan ijazah sebagai salah satu syarat penggunaan kredit, program tersebut gagal karena mayoritas dari mahasiswa bahkan membiarkan ijazahnya tertahan. Sebab untuk keperluan mencari kerja, mereka hanya membutuhkan legalizirnya.[4]

Jika meneropong lebih jauh, penyaluran student loan ini merupakan perpanjangan tangan dari liberalisasi pendidikan. Ia tentu tidak serta merta hadir begitu saja, tetapi merupakan bagian dari satu kesatuan skenario liberalisasi sektor pendidikan tinggi. Tentang bagaimana penetrasi pemodal untuk mengobok-obok dunia pendidikan menjadi komoditas belaka demi kentungan sebesar-besarnya .

Payung hukum sebelumnya yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi namun telah ‘berganti baju’ menjadi UU No. 12 Tahun 2012 (UUPT), UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) juga telah melegitimasi adanya student loan. Bunyi pasal 45 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

  • Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada badan hukum pendidikan yang tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, untuk biaya investasi, biaya operasional, beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik.
  • Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan/atau penerimaan lain yang sah.

Dalam UUPT, tepatnya pasal 76 ayat (2) telah mengaturnya. Sebagaimana Bunyi pasal tersebut:

“(2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan”.

Baik dalam UU BHP maupun UUPT, penafsiran atas istilah ‘masyarakat’ akan mengacu pada entitas-entitas privat seperti Perusahaan maupun Bank, dan lain sebagainya. Yang menjadi permasalahan lainnya adalah, dalam UUPT pasal 76 ayat (2) huruf c di atas mensyaratkan pinjaman dana atau student loan tanpa adanya bunga, sedangkan beberapa Bank telah menaksir bunga dan besaran bunganya pada produk student loan yang mereka tawarkan. Hal yang juga msih belum jelas adalah bagaimana kalau misalnya rupiah anjlok atau menguat nilainya, apakah akan ada perubahan jumlah pengembalian di masa mendatang atau tidak? Mengingat jumlah mahasiswa yang akan menggunakan kredit ini tidaklah sedikit jumlahnya sebagaimana angka kemiskinan yang terus membelenggu di Indonesia.

Bahkan dapat diproyeksikan ke depan, kemungkinan akan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dapat terjadi, karena kucuran dana telah disediakan Perguruan Tinggi dan Bank melalui student loan ini. Begitu pun Pasal 76 ayat (2) huruf c dalam UUPT dapat saja direvisi/diubah menyesuaikan dengan keadaan agar kisaran bunga dalam student loan mendapatkan legalitas.

Pendidikan sebagai Barang Komersil

Keberadaan status Perguruan Tinggi Negeri – Badan Hukum (PTN-BH) bagi beberapa universitas, dengan terpotongnya subsidi negara yang berdampak pada pemberian otonomi serta infiltrasi bisnis guna menunjang penganggaran baik untuk perguruan tinggi maupun mahasiswa sendiri, akan secara langsung maupun tidak langsung tentu akan menciptakan permintaan serta penawaran akan student loan, karena kondisi kemiskinan hidup mahasiswa yang kini masih membludak beserta tuntutan membengkaknya biaya hidup. Bahkan di pekan kedua bulan Mei 2018 akan ada kemungkinan menaiknya harga barang-barang di pasar bila nilai tukar rupiah terus berada di aatas Rp.14.000,- per dollar AS, menyesuaikan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang berturut-turut.

Ini merupakan wujud nyata dari komersialisasi pendidikan. Sebagaimana komoditas lainnya, untuk mengakses pendidikan bahkan serupa jika seseorang ingin membeli sebuah rumah, mobil, motor, dan lainnya. Begitupun dengan mahasiswa sendiri, mereka adalah konsumen. Yang pada intinya, student loan menjadi relevan akibat liberalisasi pendidikan dengan dampak tingginya biaya pendidikan tinggi dan sama sekali tidak memiliki arti apapun jika pendidikan itu dapat diakses dengan biaya murah atau bahkan gratis. Tidak dapat dipungkiri, keadaan dimana biaya kuliah yang tinggi secara tidak langsung merasionalisasi keberadaan student loan.

Sayangnya pula, Amerika Serikat yang menjadi ‘kiblat’ pemerintah pun bermasalah dengan student loan. Bahkan student loan telah menyeret AS ke dalam masalah sosial yang akut. Berdasarkan riset Brookings Institute, segenap mahasiswa Amerika Serikat terperangkap dengan total utang dalam taksiran 1,4 triliun US Dollar dan hampir 40% dari mahasiswanya terancam akan gagal membayar utang beserta akumulasi bunganya (default) hingga tahun 2023.[5] Di tahun 2015, rata-rata sarjana AS memikul utang sebesar 35.000 US Dollar, belum lagi menanggung biaya hidup untuk tempat tinggal pasca mengenyam pendidikan tinggi, kesempatan kerja dengan pendapatan memadai yang begitu sempit, dan permasalahan lainnya.[6] Student loan telah menjadi utang warga negara terbesar kedua setelah utang atas perumahan di AS.

Begitupun di Inggris, pasca berkuasanya Conservative Party di tahun 2010 kemudian diikuti naiknya biaya kuliah tiga kali lipat sekaligus penawaran student loan dengan tingkatan bunga yang lebih tinggi.[7] Bahkan rata-rata beban utang mahasiswa mengalami peningkatan dengan kisaran £44.000 kala itu.

Beberapa hal yang perlu ditekankan: 1.) Negara yang semakin mengaburkan tanggung jawabnya sendiri untuk memenuhi hak pendidikan dalam bentuk ‘subsidi’ dan menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada pelaku-pelaku pasar, khusunya Bank, 2.) Penciptaan ladang subur bagi lintah darat perBankan di ranah pendidikan untuk menumpuk profit melalui student loan, 3.) Alih-alih menjadi solusi agar pendidikan dapat diakses, student loan hanya menjebak mahasiswa dalam lilitan belenggu utang yang dipikul setelah menyelesaikan pendidikan, sementara ekspos pengangguran tak henti-hentinya membludak.

Sederhananya, liberalisasi maupun privatisasi Perguruan Tinggi dengan terpotongnya subsidi kemudian berdampak pada tingginya biaya kuliah, yang lebih lanjutnya melegitimasi hadirnya pelaku pasar seperti Bank yang berkepentingan memperoleh laba bunga kemudian  menawarkan kredit pendidikan guna memenuhi kebutuhan warga negara atas pendidikan tinggi. Student loan juga yang notabene bertujuan memberikan bantuan finansial kepada mahasiswa telah jelas memiliki motif pengakumulasian profit oleh Bank. Bank tetaplah Bank. Selain tujannya untuk menghimpun uang dalam masyarakat, tujuan utama lainnya tidak lain adalah menumpuk profit melalui bunga dari pinjaman yang mereka tawarkan.


[1] “Briguna Pendidikan, Program Kemudahan Biaya Studi Mahasiswa”. http://www.um.ac.id/content/page/2/2018/04/briguna-pendidikan-program-kemudahan-biaya-studi-mahasiswa/ 12 April 2018. Diakses 10 Mei Pukul 13.35, “Suku Bunga Kredit 5%-6% per Tahun”. Kontan.co.id, https://keuangan.kontan.co.id/news/suku-bunga-kredit-pendidikan-bri-5-6-per-tahun 21 Maret 2018. Diakses 7 Mei 2018 Pukul 18.45

[2] “Rupiah Melemah, Agus Martowardojo: BI Siap Naikkan Suku Bunga. https://bisnis.tempo.co/read/1087403/rupiah-melemah-agus-martowardojo-bi-siap-naikkan-suku-bunga/ 9 Mei 2018. Diakses 10 Mei 2018 Pukul 12.30

[3] Waspadai Risiko di Balik Janji Manis Pinjaman Kuliah Mahasiswa”. Vice News, https://www.vice.com/id_id/article/a3ydej/waspadai-risiko-di-balik-janji-manis-pinjaman-kuliah-mahasiswa/ 21 Maret 2018. Diakses 7 Mei 2018 Pukul 11.30

[4] Judith Scott-Clayton. ”The looming student loan default crisis is worse than we thought”. https://www.brookings.edu/research/the-looming-student-loan-default-crisis-is-worse-than-we-thought/ 11 January 2018. Diakses 5 Mei 2018 Pukul 20.50

[5] Fanny Malinen. “The Golden Noose of Global Finance”. ROAR Magazine Issue #3 The Rule of Finance. 2016. Hlm. 84.

[6] Ibid. Hlm. 79.

[7] Ibid. Hlm. 86.


Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNHAS.
Angkatan 2017.

Previous Aliansi Unhas Bersatu Tuntut Cabut UUPT
Next Budayakan Belajar Kapan dan Dimana Saja

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *