Oleh: Uk Marco

Sudah dua hari terakhir tentara dan polisi terlihat lalu lalang di sekitaran Kampus Merah (Unhas). Mengamati setiap gerak-gerik civitas akademika dan memeriksa sudut-sudut ruangan  (bisa jadi lubang tikus juga ikut diperiksa). Tim kebersihan (cleaning service) juga kembali dikerahkan untuk kerja ekstra, membersihkan ranting pohon yang jatuh dan memangkas dahang yang mulai rapuh.

Sudah seminggu Makassar terus diguyur hujan, nampaknya tidak menjadi penghalang bagi Unhas untuk mempersiapkan diri menyambut tamu istimewanya. Sebanyak 1.400 an Rektor se-Indonesia akan hadir dalam Konvensi Kampus XIV dan Temu Tahunan XX Forum Rektor Indonesia (FRI) 2018. Kali ini Unhas dipercaya menjadi tuan rumah.

Kabarnya beberapa menteri juga hadir menjadi pembicara dalam FRI 2018. Pembicara yang akan hadir diantaranya; Menteri Sekretaris Negara (Prof. Dr. Pratikno), Menristekdikti (Prof. Mohammad Nasir, PhD., Ak), Menteri Pertanian (Dr. Ir. Amran Sulaiman, M.Sc), Jenderal (purn) Dr. Moeldoko, Prof. Muhammad Nuh, Dr. Yudi Latief. Hadir juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Dr. Zulkifli Hasan, SE, MM), dan tidak ketinggalan orang nomor 1 RI Presiden Joko Widodo akan hadir membuka Konvensi Kampus XIV dan Temu Tahunan XX FRI 2018.

FRI yang dijadwalkan berlangsung mulai hari ini tanggal 15 hingga 17 Februari 2018 di Unhas ini, jelas akan menjadi sorotan publik. Tentu ini moment yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi Rektor Unhas. Apakah Mahasiswa patut dan harus ikut berbangga ? Tahan kebanggaan anda, sebelum anda  tahu “Forum” macam apa sebenarnya FRI ini?

Kilas Lahirnya FRI
Pasca kejatuhan rezim Fasis Soeharto, berbagai agenda terus digalakkan para aktifis untuk terus mendorong Reformasi. Gerakan Reformasi tidak hanya disambut oleh para aktifis, dan aktor penggerak politik, kalangan Intelektual (Ilmiah) Indonesia juga ambil bagian dalam menjalankan Indonesia baru yang berhasil keluar dari kebuntuan dan kediktatoran Orde Baru.

Enam bulan setelah Soeharto menyatakan diri mundur dari singgahsana kekuasaannya, tepat pada tanggal 7 November 1998 Seluruh Rektor Perguruan Tinggi se-Indonesia berkumpul di Institut Teknologi Bandung (ITB) membicarakan agenda Reformasi kedepan. Pada moment tersebut Rektor seluruh Indonesia sebagai representasi kalangan Intelektual mencoba merumuskan agenda yang akan dijalankan bersama demi Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia.

Dari sana disepakati satu Forum yang bersifat normatif dan menjadi pengikat seluruh Rektor Indonesia, dalam membicarakan setiap persoalan bangsa dan Negara. Lahirnya Forum Rektor Indonesia (FRI) di Bandung saat itu, berhasil merumuskan setidaknya lima kesepakatan sebagai agenda bersama untuk pengawalan menuju Reformasi secara utuh.

Lima kesepakatan tersebut yaitu ; 1). Para rektor akan selalu bersama dengan mahasiswa dalam gerakan reformasi murni sebagai kekuatan moral dan intelektual, dan arena itu para rektor akan membela para mahasiswa yang tertindas dan terlanggar hak azasinya. 2). Meminta ABRI memberikan perlindungan kepada para mahasiswa yang menjalankan perannya sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam menggerakkan reformasi yang murni dan berkesinambungan. 3). Pemilihan umum hendaknya dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil; dan civitas akademika bersedia menjadi pemantau yang independen dalam 2 usaha membangkitkan kepercayaan masyarakat nasional dan internasional, 4). Perlunya independensi yudikatif terhadap eksekutif agar semua keputusan-keputusan, perundang-undangan dan Keputusan Presiden yang bertentangan semangat reformasi dihapus secara tuntas, terutama produk-produk hukum yang berkaitan/menjurus dengan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, 5) Perlunya reformasi budaya yang diawali oleh reformasi pendidikan secara komprehensif dan berkesinambungan, untuk melancarkan reformasi yang menyeluruh.

Jadi jika kita melihat secara historis lahirnya Forum ini, kita dapat menangkap gambaran bahwa FRI merupakan Forum yang memiliki tendensi keberpihakan yang jelas dari kalangan Kampus dalam terwujudnya Indonesia Baru yang lebih demokratis dan berkeadilan sosial. Dan jelas merupakan pilihan yang waras bagi para Rektor se-Indonesia.

Reformasi berjalan hampir dua dekade, apakah FRI masih dalam semangat yang sama seperti kesepakatan awalnya ? Apa FRI masih memiliki relevansi untuk tetap dipertahankan hingga hari ini ?

Penghianatan FRI terhadap agenda Reformasi

Rakyat sedang menyambut 2 dekade Reformasi. Berharap membaik, dinamika bangsa malah tidak mengarah kesana. Tujuan Reformasi yang ingin menyembuhkan rasa sakit Negeri, nampaknya patut kembali dipertanyakan. Betapa tidak, penyakit Negeri ini justru semakin mengalami komplikasi, Korupsi para pejabat Negeri semakin menjadi-jadii, angka kesenjangan meningkat, perampasan hak milik rakyat merajalela akibat agenda pembangunan, subsidi sektor publik dipangkas, pendidikan dan kesehatan semakin tak terjangkau merata semua kalangan. Kriminalisasi aktivis, pelanggaran HAM, petani masuk buih karena mempertahannya hak hidupnya, serta kalangan intelektul kampus mengalami refresi dimana-mana bahkan di kampusnya sendiri oleh para Manusia bergelar yang berhati “binatang”.

Paket kebijakan rezim Jokowi bagai tembakan bertubi-tubi, yang melesit menghantam rakyatnya sendiri. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan penandatangan MoU TNI dan Polri yang secara esensial menarik kembali militer ke ruang sipil, UU MD3 dua hari lalu di sahkan Dewan terhormat yang anti kritik rakyat, RUU KUHP sudah di ujung palu, menjadi serangan telak bagi rakyat yang dilontarkan Negara. Demokrasi Indonesia bagai bola liar, menggelinding saat ciri Fasisme Negara sudah terpanpang jelas. Indonesia darurat Demokrasi…. ! Rakyat harus menyiapkan amunisi perlawan dan harus siap masuk buih….!

Alih-alih menuntaskan agenda Reformasi, jelas paket kebijakan yang lahir selama rezim Jokowi-JK, justru menarik kita jauh kearah sebaliknya melampaui Orde Baru. Disini kita, khususnya mahasiswa patut mempertanyakan Kampus dan Rektor yang terlibat dalam FRI, apakah keberadaannya masih wajar dan relevan saat ini? FRI sebagai Forum yang penuh semangat Reformasi.

Hari ini Para Rektor yang akan berkumpul di Unhas nampak tidak menunjukkan sikap jelas atas kemunduran bangsa kita. Tidak ada sikap atas UU MD3, RUU KUHP dan paket kebijakan Pemerintah yang tidak pro rakyat. Malah sebaliknya, para Rektor berbalik arah bertengger di ketek penguasa Negeri.

Setiap tahunnya FRI terus melahirkan rekomentasi kepada pemerintah, yang menjadi jalan lahirnya paket kebijakan pembangunan yang baru, termasuk pada sektor Pendidikan. Rekomendasi terus lahir, namun realitasnya malah Pendidikan kita semakin memburuk, subsidi dicabut, logika Neoliberalisme dipraktekkan di Kampus. Ditambah Kampus dan Rektor juga dirasuki watak kekuasaan dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang membatasi aktivitas mahasiswa, kebijakan yang anti kritik, bahkan kadangkala menghabisi mahasiswa yang mengkrikiknya dengan keputusan skorsing dan drop out.

Kita patut bertanya pada penyelenggaraan FRI kali ini, apakah semangat Reformasi dan kesepakatan awal saat didirikannya masih dipegang teguh. Apakah Rektor akan melindungi Mahasiswanya yang Hak-nya terlanggar, membela mahasiswa yang mengalami refresif oleh Aparat Keamanan saat melakukan aksi demonstrasi bersama rakyat ?, apakah mereka masih memiliki sikap terhadap supremasi hukum dan sipil ?, apakah mereka masih punya sikap terhadap kasus KKN ?, terhadap kebijakan Pemerintah yang mencederai Reformasi dan Demokrasi Indonesia, dan kemana mereka akan mengarahkan Reformasi Pendidikan ?, Atau mereka sudah lupa cara bersikap, dan tidak tahu kepada siapa pengetahuan harus berpihak…?

FRI : Fasisnya Rektor (di) Indonesia
Beberapa tahun belakangan sangat marak sekali kasus skrorsing, drop Out yang di alami Mahasiswa. Terlebih sejak agenda Reformasi Pendidikan Tinggi dijalankan. Kita ambil contoh kasus yang menimpah tiga mahasiswa Universitas Islam Makassar (UIM). Dua tahun lalu, tiga Mahasiswa UIM di DO lantaran menanyakan masa jabatan Rektornya. Sampai mereka harus menempuh langkah hukum. Perjuangan mereka memperoleh kemenangan hingga ke Mahkamah Agung, namun Rektor tercinta mereka tidak kunjung mencabut SK DO, justru berusaha melawan hukum.

Tahun 2014 UIN Alauddin menerbitkan aturan pelarangan berserikat dan berkumpul serta pelarangan bagi mahasiswa untuk mengikuti organisasi intra maupun ekstra kampus. Tahun 2017 terdapat Mahasiswa UIN Alauddin yang diskorsing karena mengadakan baksos. Ditahun yang sama Rektor UNM mengeluarkan SK larangan bagi Mahasiswa ikut proses Pengaderan.

Selama 2 tahun terakhir terdapat ratusan mahasiswa Unhas yang diskorsing dan drop out karena pengaderan dan aktifitas kelembagaan. Pada akhir januari lalu, dua Mahasiswa Unhas pun kembali jadi korban dari fasisnya Rektor mereka. Reaksi mereka terhadap kondisi Kampus dengan menempel poster “Kampus Rasa Pabrik” mendapat ganjaran skrorsing dari pihak Rektorat. Tiga mahasiswa Universitas Bosowa di sanksi lantaran ikut serta dalam aksi Sumpah Pemuda.

Serta aturan batas aktifitas malam diberlakukan hampir seluruh kampus. Mahasiswa penerima beasiswa dilarang mengikuti aksi demonstrasi dan kadang mendapat ancaman pencabutan beasiswa. Ini semua adalah contoh kasus dari  ancaman berekspresi Mahasiswa dalam menempuh Pendidikan.

Matinya kebebasan mimbar akademik di Kampus, robohnya nalar Ilmiah, dan demokrasi kampus yang ditafsir tunggal oleh para birokrasinya, adalah bukti betapa fasisme di Kampus itu mulai beranak pinak. Dan mereka lah para pimpinan kampus (Rektor) yang akan memberi rekomendasi pada pemerintah melalui FRI (Forum Rektor Indonesia), saat gagal membangun Pendidikan di Kampus masing-masing.

Anda Waras….?

Sasaran Gerakan Mahasiswa Makassar

Berkumpulnya Rektor se-Indonesia dalam Konvensi Kampus XIV dan Temu Tahunan XX Forum Rektor Indonesia (FRI) 2018 di Unhas, merupakan moment penting dan berharga. Tentu tidak hanya bagi para Rektor, tapi juga bagi para Mahasiswa khusunya Mahasiswa Makassar. FRI yang digelar selama tiga hari kedepan, yang juga dihadiri beberapa Menteri , mesti di rayakan mahasiswa Makassar dan menjadi fokus pembicaraan untuk beberapa waktu.

Kita tahu FRI kali ini akan membahas empat sub tema : 1. Pembangunan ekonomi nasional yang berdaulat, berkeadilan, dan menyejahterakan; 2. Penguatan demokrasi Pancasila untuk memperkokoh nasionalisme; 3. Pendidikan tinggi yang mampu meningkatkan daya saing bangsa; dan 4. Kepemimpinan nasional yang cerdas dan berkarakter. Dengan tema utama “Memperkuat Karakter Bangsa Dalam Menghadapi Disrupsi Peradaban”. Tentu ini menjadi sesuatu yang sangat paradox bahkan menjadi omong kosong Para Rektor.

Demokrasi Pancasila dan Nasionalisme ingin ditegakkan, disaat mereka (Para Rektor) sendiri yang membungkam kebebasan Mahasiswa dan tidak mampu menegakkan demokrasi kampus, bahkan mencederainya. Pendidikan tinggi yang berdaya saing, dengan mencabut subsidi, membiarkan pendidikan tinggi terkooptasi logika Neoliberal, ruang kampus terkontrol macam buih, Profesornya sibuk membicarakan pilkada. Yang ada hanya menciptakan lulusan yang bersaing menjadi buruh murah.

Kepemimpinan nasional yang cerdas dan berkarakter ingin mereka wujudkan, disaat yang bersamaan mereka melarang proses pengaderan, mengurangi anggaran kemahasiswaan, aktivitas berlembaga kadang direfresif, kritik dilarang, yang ada hanya menciptakan Pemimpin yang tunduk patuh pada Resim Modal.

Kita harus ingat bahwa FRI 2018 akan melahirkan rekomendasi kepada pemerintah, yang terkait dengan tema kegiatannya. Dan siap-siap saja kebijakan baru akan lahir dari rekomendasi Para Rektor. Kita hari ini patut memberi mosi tidak percaya pada Rektor-Rektor yang terlibat pada FRI. Sikap dan keperpihakan mereka sudah jelas bukan pada kalangan rakyat petani, buruh, miskin kota, nelayan, mahasiswa dan masyakat terpinggirkan lainnya, karena disaat bersamaan mereka menjalankan hal yang sangat paradoksal.

Sudah waktunya Mahasiswa Makassar memanfaatkan moment penting ini, berpesta dijalanan dibawah guyuran hujan di bulan Februari. Kata seorang Kawan ”Mahasiswa Makassar tidak suka dengan main kartu-kartu-an, karena Mahasiswa bukan Wasit yang memberi kartu. Mahasiswa seharusnya masuk lapangan melakukan sleding bersama massa yang sadar” (Kata-katanya saya lengkapi) ….

Masih kah Makassar menjadi “Kota Para Demonstran”…?

Catatan : Jokowi datang bikin macet Jalanan Makassar bung, Warga dijalanan banyak kehujanan Bosss…
FRI sudah di buka, Jokowi sementara Pidato ….

Previous Pasca Aksi Demontrasi, Cleaning Service Unhas Dapat Ancaman Pemecatan
Next Mahasiswa dihadang Tentara Bersenjata Lengkap

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *