“Sebuah pertanyaan yang akan mengawali perbincangan kita mengenai kemungkinan demokrasi langsung, —di kampus anda.”
Oleh: Oshinsky El-Challul
Kita sudah terbiasa berpikir positif mengenai demokrasi. Dan berpikir positif pula tentang Athena dan Romawi Kuno. Sebagai peradaban yang melahirkan demokrasi. Parthenon (sebuah bangunan ber-altar dan beberapa tiang khas peninggalan Yunani-Kuno) bahkan hampir sudah dijadikan ungkapan untuk nila-nilai demokratis. Sampai-sampai para pemimpin demokratis senang berfoto didepannya.
Dengan demikian mungkin akan mengejutkan bahwa salah satu pencapaian Yunani kuno terhebat, yaitu Filsafat. Yakni bersikap amat curiga terhadap pencapaiannya yang lain, yaitu demokrasi. Bapak Filsafat Yunani yaitu Sokrates, sebagaimana digambarkan dalam “Dialog” Oleh Plato, bersikap amat pesimis terhadap demokrasi.
Dalam “The Republic” — buku VI, karya Plato menggambarkan bahwa Sokrates sempat bercakap-cakap dengan seorang karakter bernama Adeimantus. Ia mencoba menunjukkan berbagai kekurangan demokrasi kepada Adeimantus, dengan cara membandingkan masyarakat dengan sebuah kapal.
“Kalau anda sedang bepergian naik kapal, siapakah yang menurut anda paling ideal untuk memimpin kapal? Siapa saja boleh, atau orang yang berpendidikan dalam menghadapi aturan dan kerumitan perjalanan laut?” Sokrates bertanya.
”tentu saja yang kedua”. Jawab Adeimantus.
Kemudian Sokrates merespons: “Lalu mengapa kita terus berpikir bahwa semua orang, siapa saja, boleh menilai siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah Negara?” Maksud Sokrates adalah bahwa, memilih dalam sebuah Pemilihan Umum, adalah suatu keterampilan dan bukan intuisi acak.
Dan seperti keterampilan lain, keterampilan memilih pun juga harus diajarkan secara sistematis kepada masyarakat. Membiarkan orang-orang memilih tanpa pendidikan adalah sama tidak bertanggung jawabnya dengan membiarkan mereka mengomando sebuah kapal perang yang sedang berlayar ke Pulau Samos di bawah situasi badai.
Sokrates sendiri kemudian mengalami secara langsung bencana akibat kebodohan para pemilih. Pada Tahun 399 M. Ia, sang Filsuf diadili dalam sebuah tuduhan yang dibuat-buat. Yaitu tuduhan bahwa Ia merusak moral anak muda Athena. Dewan Juri, yang terdiri dari 500 warga kota Athena, kemudian diminta untuk menilai kasus ini. dan akhirnya memutuskan, dengan margin yang sangat sempit 48%-52%. bahwa Sang Filsuf itu memang bersalah. Ia kemudian dihukum mati dengan racun hemlock.
Dalam sebuah proses, yang bagi orang-orang yang berpikir, sama tragisnya dengan hukuman mati Yesus bagi para penganut Kristen, (silahkan lihat di dalam kanon biblikalnya). Namun patut diperhatikan bahwa Sokrates tidak berpikiran sebagaimana kata “elitis” biasa diartikan. Ia tdak percaya bahwa hanya sedikit orang saja yang boleh memilih dalam Pemilu.
Tetapi, Ia juga menekankan bahwa hanya orang-orang yang berpikir mengenai isu-isu secara logis, dan mendalam-lah yang boleh memilih dalam Pemilu. Kita telah melupakan perbedan ini. Perbedaan antara demokrasi intelektual, dan demokrasi sebagai hak yang diberikan sejak lahir. kita telah memberikan hak pilih kepada semua orang, tanpa membuat hubungan antara hak pilih dengan kebjaksanaan.
Dan Sokrates tahu persis hasil akhir dari hal tersebut. yaitu pada sebuah sistem yang paling ditakuti oleh orang Yunani, yakni sistem demagog. Orang Athena Kuno punya pengalaman menyakitkan dengan kaum demagog. Misalnya, Alcibiades.
Sokrates tahu persis betapa mudahnya orang-orang yang mencari jabatan melalui pemilu dapat memanfaatkan keinginan kita untuk solusi-solusi yang gampang. Ia meminta kita membayangkan sebuah debat pemilu antara dua kandidat.
Satu kandidat seperti dokter, dan kandidat yang lain seperti pemilik toko permen. Si pemilik toko permen akan berpendapat seperti ni tentang saingannya:
“Lihatlah, orang ini telah memberikanmu banyak sekali kesengsaraan! Ia menyakitimu! Memberikan padamu berbagai ramuan pahit dan melarangmu makan dan minum apapun yang kamu inginkan! Ia tidak akan memberikan kepadamu pesta-pesta yang berisi berbagai macam hal-hal yang menyenangkan dan bervariasi. tidak seperti saya.” kata Si pemilik toko permen.
Sokrates meminta kita untuk berpikir mengenai respons para audiens. Apakah menurutmu Sang Dokter akan menjawab secara efektif?
Jawabannya adalah: “Saya memang menyulitkanmu dan melarang berbagai keinginanmu, hal itu semuanya untuk membantu dirimu!”. Tentu jawaban ini akan menyebabkan kehebohan diantara para pemilih. Ya kan? Kita telah melupakan semua peringatan dan perkataan Sokrates yang tidak setuju terhadap demokrasi. kita lebih suka untuk berpikir tentang demokrasi sebagai sebuah kebaiikan yang memang ambigu, dan bukan sebagai suatu hal yang keefektifannya berbanding lurus dengan keefektifan sistem edukasi yang mengelilinya. Nah, sebagai hasilnya, kita telah memilih banyak sekali pemilik toko permen dan sedikit sekali dokter.
Bukankah saat ini kita menjumpai pemilik toko permen banyak terpilih secara demokratis melalui pemilu langsung? Maka jangan heran bila banyak konstituen yang sakit gigi, namun kemudian tak kunjung mampu membeli obat pesakitannya karena harga yang membumbung tinggi — akibat kebijakan sang pemilik toko permen pula. Dan para pemilik toko permen yang dipilihnya bahkan tak pernah menurunkan kaca mobilnya untuk sekedar mendengar jerit konstituennya.●
No Comment