Oleh: Max id

Kemarin saya baru saja mengikuti pertemuan pers mahasiswa nasional di sebuah Kota yang tak mau saya sebutkan namanya. Pelatihan tersebut diikuti oleh perwakilan dari organisasi pers mahasiswa yang berasal dari beberapa kota di Indonesia. Dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah, dari selatan ke utara, dari timur ke barat, itulah nama-nama arah. Iya, setiap arah punya tujuan, dan setiap tujuan punya ide, dan ide saya adalah kalimat bagian ini memang tidak penting dan tidak perlu dibaca. Tema pelatihan tersebut adalah Jurnalisme Online. Sebuah platfrom jurnalisme masa kini yang lagi ngehits di jagat raya ini. Banyaknya transformasi yang dilakukan oleh media-media internasional, nasional dan juga lokal, sepertinya menjadi motifasi diadakannya pelatihan ini.

Pada salahsatu materi berjudul bisnis di media  online, disesi akhir kami sibuk membicarakan kondisi finansial lpm (sebutan singkat dari lembaga pers mahasiswa) masing-masing berikut dengan tips dan trik jitu menjadi lpm jutawan. Ada yang bertanya bagaimana caranya agar bisa meraup iklan di pasar bisnis demi kesejahteraan terbitan, ada juga yang bertanya tentang bagaimana memaksimalkan pemanfaatan keuangan agar tepat sasaran dari segi kebermanfaatan. Diskusi pun menjadi alot ketika berbicara soal untung rugi media online tentu saja menggunakan prespektif bisnis. Saat itu, saya juga bingung mau mengusulkan ide apa untuk kesejahteraan lpm. Karena dalam bayangan saya, urusan finansial sudah dialokasikan jauh sebelum proposal dimasukkan, kecuali memang lpm tidak diakui lagi secara formal sebagai lembaga mahasiswa yang berada dibawah tanggung jawab birokrasi kampus. Mempersoalkan diskriminasi, sama halnya menanyakan kembali suratan takdir, Muhammad tidak perlu berperang memperjuangkan Islam sampai kepada manusia di abad ini jika tidak ada pertentangan, kemerdekaan Indonesia tak akan menumpahkan darah jika diskriminasi dihapuskan, karena menuntut sebuah kebenaran adalah menolak patuh pada kebatilan yang telah disulap oleh tirani menjadi hukum kebenaran yang sesat, maka bersiaplah untuk dihujani terkaman (bukan quotes dari Mario Teguh).

Baiklah mari berbicara serius soal pers mahasiswa.

Sebagai miniatur negara, kampus sudah seharusnya menjadi ranah paling ideal untuk menjalankan demokrasi yang bersih dan bebas dari kepentingan politik. Mahasiswa yang tidak lain adalah warga kampus, memegang pernanan penting dalam menjalankan demokrasi sampai titik didih emosi paling tinggi bahkan jika perlu sampai kampus terbakar.

Berbicara soal pers mahasiswa, dalam sistem demokrasi, pers merupakan pilar mendasar negara yang menganut sistem demokrasi seperti yang saya kutip dari sebuah situs blogspot (trend budaya ilmiah masa kini) yang mungkin ada benarnya bahwa Pers merupakan penegakkan atas nilai-nilai dasar demokrasi sesuai pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 poin b. Dalam lingkup yang lebih kecil seperti kampus, tentu saja pers mahasiswa merupakan sesuatu yang keberadaanya berhukum Fardhu Ain dalam masyarakat kampus yang demokratis itu. Oh iya, ini bukan fatwa ulama sehingga anda tak perlu serius memaknai “Fardhu Ain” itu.

Saya merasa geli digelitik oleh telisik asal-usul aktifitas pers masa lalu yang sudah dimulai oleh para pendahulu kita yang telah lama wafat berikut juga ide dan gagasan mereka yang sudah ikut dimatikan mengikuti mayatnya masing-masing di dalam tanah berulat belatung. Pers mahasiswa pada hakikatnya dimulai dengan semangat perjuangan anti kolonialisme yang saat itu sangat beringas menelanjangi hidup banyak rakyat. Sebut saja pers yang didirikan oleh para pelajar Indonesia yang disekolahkan ke Belanda seperti majalah Hindia Poetra yang aktif bergerak dinamis mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, kemudian beberapa Pers mahasiswa yang dibredel oleh rezim orde baru karena kritikan yang terus menerus digencarkan sampai pada akhirnya orde baru ditumbangkan. Tak hanya itu, tentu saja banyak sekali peristiwa-peristiwa besar yang banyak dimulai dari gerakan pers mahasiswa. Inti dari gerakan pers mahasiswa adalah bagaimana mengkampanyekan informasi atau gagasan dari seorang mahasiswa sebagaimana lazimnya manusia terpelajar yang hidup di negara Demokrashit. Rasa geli itu semakin menggelitik saat membicarakan pers mahasiswa yang ada hari ini.

Di tengah arus globalisasi yang semakin basi ini, pergerakan eksploitasi kapitalisme hari ini bahkan sudah sampai pada setiap hela nafas yang kita hirup dan hembus setiap detik. Orang-orang terpelajar yang seharusnya menjadi harapan para kaum buruh, petani, nelayan, dan orang-orang yang tidak dapat hidup kecuali dengan kaisan sampah di tong-tong basah bercacing, nampaknya hari ini mereka sedang sibuk berselingkuh dengan para pemodal-pemodal borjuis yang siap memenuhi permintaan perut dan isi dalam celana mereka masing-masing. Pers mahasiswa juga nampaknya sedang sibuk berdiskusi soal bagaimana memenuhi kepentingan pasar percetakan, atau bagaimana metode yang baik dan benar untuk meraip iklan-iklan kondom yang berbayar mahal di sekitar kampus.

Komunikasi dua arah dalam ide jurnalisme sepertinya sudah diblokir oleh birokrashit kampus. Berita-berita seremonial tentang kampus yang prestatif itu nampaknya lebih ramai di portal-portal online pers mahasiswa, atau gambar-gambar rektor yang budiman itu sudah menjadi langganan cover majalah edisi khusus kampus idola. Kabar-kabar tentang mahasiswa drop out dibuly habis-habisan seolah tak ada benarnya sebagaimana kacamata minus birokrashit melihatnya. Jadi kita ini pers mahasiswa, atau pers birokrasi?

Persoalan finansial setiap lembaga kemahasiswaan memang sudah menjadi sunatullah di setiap kampus di Indonesia, sehingga mahasiswa harus lebih mandiri minimal dari alam pikiran, agar prespektif tak ditunggangi.  Fenomena lembaga mahasiswa seremonial memang sudah jadi langganan mahasiswa masa kini, kesesatan orde baru memang sudah mendarah tulang dalam hidup mati mahasiswa, sehingga kita mesti teliti dalam membaca, dan skeptis dalam berpikir, maka berhematlah dalam memuji penguasa, karena kekuasaan akan selamanya tumbuh, sedang kita hanya akan jadi pelanjut kekuasaan itu (jika kita sadar).

Mejadi pers mahasiswa adalah bukan tentang bagaimana memenangkan pasar profit untuk melenggangkan kapitalisme, tetapi bagaimana memenangkan wacana publik tentu saja dengan ide kritis yang bertujuan untuk kemaslahatan. Pers mahasiswa bukanlah industri bisnis, tetapi pers mahasiswa adalah penyambung lidah mahasiswa. Camkan itu…!!!

Saya tidak sedang menggunjing pers mahasiswa dimanapun berada, tetapi saya sedang mengkritik diri sendiri karena kata bibi tua saya yang lahir di Amerika sana, Eleanor Roosevelt bahwa “Anda akan dikritik orang ketika melakukan sesuatu, anda juga akan dikritik ketika tidak melakukan sesuatu, jadi, lakukan saja apa yang menurut anda benar”.


Previous Hentikan Kekerasan Terhadap Petani
Next AJI Makassar: Jurnalis Bukan Juru Kampanye

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *