Oleh: Shany
“Bagaimana anak-anak, adek-adek, apa ada pertanyaan ?” tanya ibu wani kepada para murid dengan penuh harap dapat memantik diskusi dalam kelas, yang tentunya tertebak respon para murid adalah senyap saja, seperti mode gawai saat ibadah. Biasanya setelah beberapa lama menunggu jawaban yang tidak kunjung datang, Ibu wani akan memberi tugas dan meminta para murid untuk mengumpulkannya minggu depan.
Jauh sebelum ibu Wani membuka sesi diskusi, kondisi ruang belajar tentu lebih senyap. Biasanya ibu Wani akan berbicara cukup lama tanpa ditimpali oleh murid. Dan begitulah ruang belajar yang diampu ibu Wani, menjadi bukan kelas melainkan khotbah pra ibadah jumat. Tidak ada tanya jawab atau diskusi, jadi jangan berharap ada situasi yang bergairah macam adu pemikiran, atau publikasi temuan.
Apa yang dialami ibu Wani, kira-kira terjadi di hampir seluruh ruang belajar formal. Dari tingkat pendidikan paling dasar hingga tingkat pendidikan paling tinggi sekelas kampus. Tentu saja dengan mengecualikan sekolah Tomoe[1] dalam buku Totto Chan[2], dan kampus fiksi S.H.I.T[3] dalam film Accepted[4]. Meski demikian, pendidikan yang menggairahkan bukan tidak bisa temukan di luar realitas rekaan. Ambil permisalan sekolah demokratis Summerhill School yang digagas oleh Alexander Sutherland Neill, jebolan sastra Inggris Universitas Eidenburgh.
Tentunya pemilihan sekolah Summerhil sebagai permisalan sangat beralasan. Sejarah Summerhill, berangkat dari masalah pendidikan yang selalu gagal dientaskan oleh sistem konvensional. Ambil contoh persoalan inferioritas[5] murid sejak dalam pikiran, yang memang dibentuk oleh sistem belajar dengan posisi guru sebagai serba tahu dan murid pasti tidak. Inferioritas yang kemudian menyebabkan ruang belajar menjadi impoten dalam proses mencerdaskan, dikarenakan nihilnya potensi pertanyaan.
Bila dilacak, persoalan inferioritas murid dalam ruang belajar bukan tanpa sebab. Jauh sebelum sekolah, inferioritas sudah dibentuk sejak setiap anak memulai pendidikan, dalam tirani bernama keluarga. Disinilah anak mulanya dimintai melakukan hal yang tidak diinginkannya, menjalani keyakinan yang bukan pilihannya. Lewat hukuman dan ancaman, anak-anak dipaksa mengiyakan setiap permintaan, menuruti setiap suruhan. Tentu seringkali, tanpa dimintai pandangan, apalagi kesempatan untuk menyatakan pikiran dan rasa keberatan.
Setelah keluarga, represi tidak akan berhenti. Anak masih harus menghadapi kekerasan yang lebih terlembaga bernama sekolah dan norma kelompok. Dipaksa memahami konteks yang tidak relevan dengan hidupnya, atau menjalankan tata hidup yang tidak pernah disepakatinya. Lalu mari berterima kasih pada Freud[6], jika pada paragraf ini kita bisa mengerti relasi antara pengalaman masa hidup dan persoalan inferior pada manusia. Tentu relasi tersebut tidak perlu dijelaskan dengan parade data statistik yang menjengkelkan, percaya saja, manusia masih dapat memahami sesuatu tanpa cara yang serumit itu.
Kemudian sebagai akibat dari batasan-batasan yang diciptakan oleh tirani komunitas (trilogi keluarga, lembaga pendidikan, dan norma kelompok), bukan saja melahirkan kesadaran banal yang serba permisif. Pada titik yang lain, justru akan menciptakan konstruksi relasi yang tidak sehat, dimana posisi guru dan orangtua semisal akan semakin tegas menempatkan diri sebagai tirani yang absolut.
Tengok saja kasus tiga mahasiswa UIM[7] yang didrop out karena mempertanyakan status rektornya yang bermasalah sebab telah melewati masa jabatan normal dua periode berturut (memasuki periode ketiga). Pertanyaan ketiga mahasiswa tersebut kemudian dijawab dengan terbitnya SK DO cacat prosedur yang dikeluarkan oleh sang rektor. Celakanya, bahkan setelah menggugat SK DO dan dimenangkan oleh pengadilan, status ketiga mahasiswa tersebut belum juga dipulihkan oleh sang rektor. Kemudian apakah sampai disini maksud penggunaan kata tirani belum cukup jelas ?.
Dalam konteks kampus, mari melihat contoh yang lebih dekat. Bagaimana aturan dalam kelas seringkali berlaku secara paternal (suka-suka dosen). Mahasiswa yang telat lebih 30 menit, dianggap tidak hadir, bahkan ada yang dikeluarkan. Sementara dosen boleh terlambat, dan memindahkan jam kuliah semaunya. Mahasiswa yang tidak masuk lebih dari 3x, selanjutnya akan dianggap tidak lulus secara otomatis. Sementara dosen boleh tidak masuk sesuka hatinya dengan alasan kesibukan, seolah kondisi yang sama (kesibukan) tidak dialami oleh mahasiswa juga.
Tentu saja titik tekan pada tulisan ini bukan bermaksud menghakimi kebanalan kampus meskipun itu layak. Dengan latar belakang studi saya yang memandang manusia sebagai subjek dinamis, tentu saja tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membangun sebuah pandangan absolut tentang kondisi terkini akan terus demikian.
Tentu juga bukan bermaksud mengubah kutub paternal (dimana mahasiswa/murid/anak jadi pihak yang bersikap semaunya), melainkan dalam merumuskan batasan, kedudukan setiap pihak seharusnya sama. Kebijakan yang berlaku adalah hasil kesepakatan bersama, bukan yang dibuat satu pihak untuk mengatur pihak lain. Siapa yang menjamin, misalnya dalam penentuan unit cost dari prodi untuk penentuan UKT dirumuskan benar-benar berdasarkan pembacaan atas kebutuhan mahasiswa, bukan dari hasil terka menerka belaka dari perumusnya. Sementara pendidikan ilmiah menghendaki kita tidak terka menerka, lalu bolehkah kampus menutup-nutupi fakta ? (dalam arti, misalnya tidak transparan dalam urusan keuangan).
Sehingga titik tekan sebenarnya dalam narasi ini, adalah pendidikan demokratis dalam arti paling sejati. Pendidikan demokratis dimana perumusan kebijakan adalah melalui demokrasi lansung dalam forum terbuka. Bukan demokrasi perwakilan ataupun sentralistik yang hanya menyerap kebutuhan dan pandangan segelintir orang saja, yang kita tahu dalam praktek bernegara sistem demokrasi perwakilan dan sentralistik selalu bermasalah karena gagal mengakomodir keinginan seluruh pihak.
Sehingga untuk alasan yang sama pula, Summerhill dirujuk sebagai model pendidikan alternatif yang seharusnya dibumikan. Dimana masalah pendidikan seperti inferioritas siswa yang membuat ruang belajar menjadi senyap, bisa dientaskan dengan menegasi otoritas. Dalam cara yang oleh masyarakat konvensional dipandang ekstrim, Summerhill benar-benar membebaskan siswanya dalam arti paling harfiah. Semua boleh dilakukan selama tidak menganggu orang lain. Tapi bukannya tidak ada aturan, Summerhill justru sangat sering mengubah aturan lewat rapat umum yang dihadiri tiap anggota komunitas sekali sepekan. Sebagai titik tekan, semua itu dilakukan pihak summerhill berdasarkan pandangan pokok mengenai konsepsi perbedaan individu ditinjau dari kekhususan dan keunikan[8].
Bagi siswa yang kurang senang dengan kegiatan akademis, diperbolehkan untuk belajar dalam kegiatan praktis di bengkel kerja seni maupun teknikal, juga laboritarium dan lapangan. Di Summerhill siswa diberikan wewenang untuk memilih pelajaran sesuai kebutuhan dan keadaannya, sehingga setiap anak benar-benar akan berkembang ke arah yang diinginkannya. Tentu saja hal tersebut menuntut siswa untuk sadar, bahwa setiap usaha dan tindakan, konsekuesi dan manfaatnya adalah tanggungan sendiri. Sehingga jebolan Summerhill sangat mudah diidentifikasi dalam dunia kerja karena keunikan warna berpikir dan tabiatnya ; visioner, optimis, terbuka, percaya diri, jujur, dan tekun.
Meski demikian, perjalanan Summerhill bukannya tanpa ujian. Jauh sebelum menetap di Inggris, Summerhill pernah bertempat di Jerman, kemudian pindah ke Austria, semuanya dikarenakan kurikulum yang ditawarkan sangat bertentangan dengan ide-ide mapan tiap Negara ia bertempat. Bahkan setelah pindah ke Inggris, Summerhill beberapa kali terancam akan ditutup oleh OFSTED[9] (Dinas pendidikan Inggris) karena menerapkan kurikulum yang tidak diatur oleh pemerintah. Lalu lewat BBC, Summerhill diserang melalui drama yang menggambarkan sekolah tersebut secara kontradiktif dari kenyataannya.
Lalu sebagai penutup dalam tulisan, kita akan menghadapi argumen dari kelompok konservatif “tapi kan summerhill school produk asing, pasti kulturnya kebarat-baratan, tidak cocok sama kultur lokal, dan blablabla” kemudian untuk alasan itulah paragraf terakhir ini dibuat. Untuk mengabarkan kemunculan sekolah alternatif serupa Summerhill yang tetap mengusung nilai-nilai kebebasan namun tidak menjauhkan diri dari persoalan hidup yang lebih nyata, beberapa di antaranya seperti Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta, Sanggar Anak Alam (Salam) di Yogyakarta, SMP Qorriyah Thayibbah di Salatiga, dan sekolah-sekolah alternatif yang didirikan oleh serikat-serikat tani di berbagai willayah nusantara.
Kemudian mengingat sejarah kebangsaan kita yang justru melahirkan banyak pembesar dari rahim-rahim sekolah alternatif di zaman kolonial. Kenapa kemudian paska hardiknas 2 mei kemarin, tidak kita resolusikan saja untuk Hardiknas tahun depan “jika pendidikan formal macam kampus dan sekolah tetap saja mahal, sementara perubahan yang diciptakan nyaris tidak ada bahkan nihil. Mari kita boikot saja kampus dan sekolah formal itu, bangun sekolah alternatif yang demokratis dan mencerdaskan” tentunya pilihan ini mesti ditempuh jika opsi demokratisasi ruang belajar formal gagal untuk diupayakan. Maka membangun dan membumikan pendidikan alternatif yang mengusung nilai-nilai demokratis, sekaligus merupakan upaya untuk memperjuangkan pendidikan yang lebih manusiawi. Sekian. Salom.
[1]Tomoe Gakuen adalah sekolah dasar di Jepang yang hidup sekitar tahun 1936-1945, didirikan oleh Sosaku Kobayashi. Sekolah ini membebaskan setiap siswa untuk menekuni hobi dan bakatnya masing-masing
[2]Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela adalah buku anak-anak yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Judul asli buku ini adalah 窓ぎわのトットちゃん (Madogiwa no Totto-chan). Totto-Chan sendiri merupakan nama kecil penulis, Tetsuko tidak bisa menyebutkan namanya sendiri sehingga dia memanggil dirinya dengan Totto-Chan
[3] South Harmony Institute Technology (S.H.I.T)
[4] Film ini disutradarai oleh Steve Pink, merupakan komedi yang bercerita tentang sekelompok anak muda lulusan SMA. Mereka mendaftar di setiap Universitas seluruh Amerika, dan gagal. Sampai kemudian mereka memutuskan untuk mendirikan S.H.I.T agar bisa mengelabui orang tua mereka. Film ini dirilis pada tahun 2006.
[5] Tetap merujuk pada teori Alfred Adler. Hanya saja dalam konteks tulisan ini, difokuskan pada kegagalan mengompensasi perasaan inferior sebagai akibat dari posisi relasi salah satu pihak sebagai otoritas, sehingga membuat pihak yang satu menjadi bergantung.
[6] Merujuk pada buku Introducing Psychoanalysis yang membahas bagian struktur kepribadian pada sub bahasan relasi antar kesadaran.
[7] https://redaksibdg.wordpress.com/2016/12/29/kronologis-tiga-mahasiswa-fakultas-teknik-universitas-islam-makassar-uim-yang-di-drop-out/
[8] Juga mengacu pada konsep perbedaan dan kekhususan individu yang diusung oleh Alfred Adler. Meski sebenarnya dalam tulisan ini tidak menyadur teori dari buku yang membahas teori-teori Adler secara khusus. Tapi sebagai referensi, buku yang digunakan untuk bahan tulisan disadur dari buku Theories of Personality yang ditulis oleh duo Feist.
[9] Office for Standards in Education
Penulis adalah Sekjen PPMI DK Makassar 2017
No Comment