catatankaki.org — Rabu (17/05/17) Tangga panjang di Pusat Kegiatan Mahasiswa UNHAS terlihat ramai. Pasalnya, Perhimpunan Merdeka yang bekerja sama dengan Unit Kegiatan Pers Universitas Hasanuddin (UKPM UH) mengadakan kegiatan nonton dan ngobrol bareng film “Factory Asia” di tempat tersebut. Film berdurasi 25 menit ini menarasikan kondisi perburuhan di Asia. Dengan berfokus pada kondisi di Indonesia, film ini menampilkan kondisi ketertindasan buruh yang bekerja keras hanya demi bertahan hidup, yang dikontraskan dengan bebalnya masyarakat kelas atas yang menikmati hasil kerja keras mereka. Film ini diakhiri dengan pemaparan mengenai usaha-usaha para buruh di berbagai negara di Asia yang berjuang menuntut perbaikan kondisi mereka. Meski tanpa riuh tepuk tangan yang biasanya terjadi pasca berakhirnya suatu agenda kegiatan, nonton bareng kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dipantik oleh Bapak Askin dari Gerakan Serikat Buruh Nusantara (GSBN) , Arul dari UKPM UH, dan Maulana dari Perhimpunan Merdeka.

Menurut Bapak Askin, kondisi ketertindasan buruh di berbagai daerah di Asia yang ditampilkan dalam film Factory Asia ini juga terjadi di Makassar, khususnya di kompleks pabrik KIMA. Buruh yang sebenarnya merupakan soko guru perekonomian yang memajukan perkembangan ekonomi, justru menjadi golongan yang tidak menikmati hasilnya. “Buruh hanya mendapatkan upah murah yang hanya cukup untuk makan sehari” tutur Bapak Askin mengakhiri pengantarnya.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kapitalisme didalam pendidikan oleh Arul. Menurutnya pendidikan di Indonesia telah mengalami proses-proses komersialisasi sejak reformasi. Karenanya, perjuangan mahasiswa hari ini perlu banyak berbenah, khususnya dalam mengaitkan pendidikan tinggi dengan konfigurasi kapitalisme yang semakin ekspansif kedalam berbagai ruang.

Maulana kemudian memaparkan secara panjang lebar perihal kapitalisme dan pergerakan anti-kapitalisme. Menurutnya kapitalisme menciptakan hubungan sosial yang didasarkan atas mekanisme pasar. Hubungan sosial ini kemudian membuat masyarakat melegitimasi system perekonomian kapitalisme, tanpa menyadari potensi kehancuran yang dimilikinya. Regulasi yang dihadirkan oleh pemerintah memegang peranan penting dalam menyediakan ruang bagi kapitalisme untuk mengontrol hubungan sosial yang ada. Maka, untuk memutus hubungan sosial ini, kita perlu membangun relasi sosial yang didasari atas semangat anti-kapitalisme, dimana perjuangan yang ada tidak hanya terbatas pada pembangunan perubahan atas kapitalisme, namun juga segera menghidupi kehidupan alternative pasca perubahan tersebut di saat ini dalam rangka untuk memperjelas model kehidupan yang akan berlaku setelah kapitalisme tumbang.

Setelah bertahan beberapa lama dibawah rintik hujan serta di bawah langit malam yang semakin larut, diskusi kemudian diakhiri – dengan pembahasan terakhir mengenai gerak perjuangan alternative yang perlu dijalankan, khususnya oleh serikat buruh demi efisiensi perjuangan. Menurut Pahmi selaku ketua panitia, kegiatan ini diharapkan dapat memberikan penyadaran mengenai bagaimana masyarakat hari ini dapat hidup karena bertumpu diatas ketertindasan buruh yang seringkali diacuhkan kondisinya, bukan para pemilik modal ataupun para birokrat yang seringkali hanya merupakan benalu didalam system perekonomian kapitalis. Pahmi juga berharap bahwa kegiatan ini dapat menyediakan referensi lain bagi mereka yang berjuang menuntut keadilan dan kebebasan dalam hidup bermasyarakat. “Seperti yang kita rasakan bersama, kondisi pemikiran masyarakat kita hari ini masih terlampau ketinggalan dalam hal perjuangan menuju masyarakat yang lebih adil dan bebas dan pemahaman akan daya rusak kapitalisme. Karenanya, diperlukan usaha yang terus-menerus dikembangkan demi mendorong masyarakat ke arah yang lebih emansipatif. Mari ki’” tuturnya.


Penulis : Ilman

Previous Negeri Para Jenderal
Next Diskusi Pelataran Rektorat, Tanpa Rektor

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *