Oleh: Said

Cerita buram tentang campur tangan para jendral dalam perjalanan negeri ini bukanlah hal yang baru untuk dibicarakan. Rentetan peristiwa sejak awal proklamasi sampai demokrasi tidak pernah lepas dari kaitannya dengan mliter. Bahkan konflik pembantaian manusia terbesar sepanjang sejarah Indonesia di tahun 1965 pada hakikatnya dilatarbelakangi oleh aktifitas politik para jendral yang konspiratif, sehingga menimbulkan propokasi kebencian dikalangan sipil sendiri, perang antar sipil pun meledak dimana-mana.

Orde Baru milik pak Jendral

Meskipun orde baru sudah 19 tahun meninggalkan jagat raya nusantara, pengaruh militer di tubuh demokrasi masih cukup terasa. Usia 19 tahun memang sama sekali belum cukup matang untuk menghapuskan jejak kuasa militer berusia 32 tahun itu. Peran besar Suharto atas keterlibatan militer dalam politik di jamannya memang tidak tangung-tanggung. Bisa dilihat dari komando militer di setiap regional wilayah sampai di pedesaan yang masih tetap esksis berdiri sampai sekarang. Di tingkat kabupaten ada Komando Distrik Militer atau disingkat KODIM, untuk tingkat kecamatan ada komando Rayon Militer disingkat KORAMIL, adapun untuk tingkat yang lebih kecil lagi yaitu desa atau kelurahan ada Bintara Pembina Desa atau disebut BABINSA.

Saat orde baru, komando militer di setiap regional tersebut sangat aktif dalam mengawal orde baru sampai tingkatan paling kecil. Jika kamu hidup di desa saat orde baru masih berkuasa, komando militer setingkat Babinsa pasti sangat dirasakan keberadaanya meskipun tidak ada perang mengangkat senjata di setiap pedesaan. Terkadang jika tidak ada urusan yang berhubungan dengan kemanan, seorang Babinsa kadang terlihat bosan dengan aktifitasnya sebagai seorang prajurit militer, sehingga kerjaan sampingan seperti nelayan, bertani, berkebun dilakukannya untuk menurunkan berat badan. Tidak heran beberapa penduduk desa berukuran tubuh rata-rata ( berkuran baju Medium atau Large) yang kebetulan dekat dengan pak Babinsa, juga memakai baju bekas bercorak loreng hijau cokelat milik pak Babinsa yang punya banyak baju baru. Sampai sekarang seperti itulah kejadiannya.

Kekuasaan Suharto dengan partai Golkarnya memang sudah ditanamkan sejak lama, sehingga yang kita lihat dan rasakan hari ini adalah buah dari perawatan panjang sang jendral hampir di seluruh pelosok masyarakat. Pengaruh militer di tubuh negara ini memang telah lama dimulai sebelum Suharto. Saat orde lama masih bertandang, dan karena kekosongan agenda ditubuh pertahanan negara, Jendral A.H. Nasution merumuskan sebuah gagasan pada angkatan bersenjata yang kemudian dikenal dengan “Dwifungsi”, dimana militer dituntut untuk memiliki dua fungsi dalam tugasnya yakni fungsi dalam pertahanan-keamanan serta fungsi dalam pembangunan sosial masyarakat. Fungsi angkatan bersenjata dalam pembangunan sosial masyarakat ini kemudian diaktualisasikan dalam bentuk ikut mengambil keputusan dalam penentuan kebijakan pemerintahan termasuk dalam pembuatan perundang-undangan. Sejak saat itu angkatan bersenjata kemudian memiliki perwakilan di Legislatif. Akhirnya militer menjadi kekuatan politik tersendiri dengan kepentingan mereka sendiri pula. Meskipun gagasan ini kemudian dihapuskan saat orde baru telah ditidurhamilkan.

Walaupun demikian, peranan Suharto dalam memanfaatkan posisi militer ini untuk menanamkan kepentingannya sangatlah besar. Hal itu sudah dimulai saat merebut paksa kursi kepresidenan  sampai bahkan detik ini. Tidak heran kalau kekayaan sudah ditumpuk bergunung-gunung di Cendana, banyak peluru dilesatkan ke sasaran-sasaran yang sesat arah, dan mulut-mulut dibungkam dengan senjata. Rentetan pelanggaran HAM terus terungkap satu persatu. Konflik di tahun 1965 yang terus dibicarakan tanpa ada penyelesaian. Meminjam judul sebuah buku kumpulan esai tentang tragedi 1965, bahwa 1965 adalah tahun yang tak pernah berakhir.

Rezim orde baru adalah rezim yang menakutkan. Ketakutan-ketakutan ini kemudian berbuah kuasa untuk setiap kehendak militer atas masyarakat sipil. Jika ada sengketa sipil yang melibatkan militer, tentu saja sudah jelas siapa yang berada di hadapan patok laras panjang bernama senjata, atau mungkin berparas lebam sentakan sepatu laras. Meskipun rezim ini telah lama tutup usia, tetapi jejak-jejak para jendral yang ikut ambil bagian saat orde baru, saat ini masih tetap eksis menanamkan kembali bibit-bibit barunya.

Dari rakyat oleh rakyat untuk pak Jendral

Doktrin kekuasaan militer ini tentu saja masih dipegang teguh oleh para alumni jendral militer yang sudah bernafas renta. Mereka tentu tidak berdiam diri di atas kursi kayu bergoyang di beranda rumahnya masing-masing. Aktifitas poitik terus berjalan. Itu bisa dilihat dari kampanye para paslon (pasangan calon) pemerintah, selalu saja ada sosok bermuka loreng yang ikut di belakangnya. Begitupun partai politik mapan dengan kader-kader sipil terbesar saat ini hampir semuanya atas kendali para jendral. Jika perusahaan-perusahaan kapital bermodal besar bicara soal saham, nama pak Jendral nyaris tak pernah absen.

Dalam perjalanan politik Indonesia sejak orde lama sampai demokrasi, peranan hegemoni para jendral tentu saja sangat dirasakan kekuatan dan eksistensinya. Mulai dari tingkat Rukun Tetangga (RT) sampai pucuk kekuasaan setinggi Presiden. Kekuasaan yang dipegang oleh sipil dan tidak pro terhadap pak jendral dipastikan tidak akan bertahan lama, itu bisa dilihat dari Habibie, Gusdur, dan lainnya. Pemerintahan yang panjang saat Susilo Bambang Yudhoyono memegang kekuasaan tentu saja atas restu dari para Jendral.

Keterlibatan militer hampir di setiap lini strategis bahkan sampai pada bagian terkecil masyarakat, membuat militer kehilangan marwahnya sebagai petugas pertahanan dan keamanan negara. Rakyat sipil tak punya ruang untuk bergerak bebas di negaranya sendiri apalagi jika dihadapkan langsung dengan kepentingan pak Jendral. Lihat saja perebutan lahan terjadi di mana-mana, salah satunya yang terjadi di Bara-Baraya kota Makassar, Kelapa Gading, Jakarta Utara, penganiayaan terhadap beberapa warga sipil, aktivis mahasiswa, rakyat Papua, dan lain sebagainya. Dan nyaris tidak satupun konflik sipil yang berbenturan dengan militer bisa diselesaikan sampai ke pengadilan. Jangankan penyelesaian konflik ke pengadilan, bahkan membicarakan sejarah suram militer baik secara lisan ataupun tulisan pun masih menjadi momok yang menakutkan di negara demokrasi ini.

Peran pak Jendral ini memang ikut mangaminkan negara demokrasi kapitalis Indonesia atau yang kerap disebut Noam Chomsky sebagai negara Plutokrasi. Adalah negeri yang di dalamnya hidup seperempat miliar manusia, tetapi hanya dikendalikan oleh satu atau dua orang yang punya kekuatan modal, termasuk pak jendral yang kuat dari sisi militer. Jika kamu homo sapiens yang tidak pernah mendapatkan sekolah militer semasa hidupmu, yakin saja kita hanya ada tiga pilihan hidup, pertama adalah jadi budak sekaligus saksi hidup yang hina, kedua adalah melibatkan diri dengan menjadi boneka mainan. Dan yang terakhir, pilihan ini sedikit omong kosong dan cukup pikirkan saja, yaitu jika kamu mengingikan kebebasan, buatlah senjatamu sendiri dan melawanlah semampumu.

Selamat datang di negeri para Jendral…


Previous Teroris itu Bernama Mahasiswa
Next Pemutaran Film “Factory Asia” dan Ngobrol Bareng Seputar Buruh dan Pergerakan Anti-Kapitalisme

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *