“Birokrasi telah mengancam saya dengan ancaman-ancaman akademik. Salah satunya ialah saya tdk diijinkan sarjana sebelum mengembalikan Dana Bidikmisi tersebut. Saya di sini hanya meminta kejelasan Ibu rektor karena yang bersalah di sini tim verifikasi bukan saya”
catatankaki.info – Wajah-wajah dengan tatapan kosong berlalu lalang di koridor ruang kuliah “Kampus Merah” (Julukan salah satu kampus ternama di Indonesia Timur). Sekitar pukul 12.30 wita, para Mahasiswa berjalan tergesa dikejar jarum jam yang terus berputar. Waktunya bagi mereka beristirahat sejenak sebelum lanjut mendengarkan ceramah berikutnya oleh Dosen dalam ruang kuliah.
Menuju ruangan berdinding kaca yang berada di pojok gedung. Ruang yang menjadi tempat melepas dahaga dan menunda rasa lapar sambil bercerita dengan kawan. Setidaknya ada sedikit jeda waktu yang bisa dimanfaatkan sebelum mereka kembali duduk terpaku mendengar berbagai teori tentang kehidupan dengan penuh harapan. Ruangan kaca yang begitu mewah yang sudah nampak seperti Kantor kantor Perusahaan, dipenuhi tulisan nama salah satu Bank di Indonesia. Dulu Mahasiswa lebih mengenalnya sebagai Jasa Boga (Jasbog), dan sekarang telah diganti “Kudapan BNI”.
Pada waktu yang bersamaan di salah satu ruang kampus yang cukup terbuka. Terlihat sekumpulan mahasiswa yang sedang berunding dibawah pohon dan koridor depan Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin (Unhas). Mahasiswa yang sebagian besar mengenakan topeng kardus, dan di antaranya ada yang memegangi spanduk berukuran satu kali empat meter. “Unhas Harus Bertanggungjawab, Stop PUNGLI kembalikan uang Mahasiswa!” nampak jelas tertulis pada spanduk tersebut.
Mahasiswa terus berdatangan dari berbagai Fakultas hingga menambah jumlah massa. Tiba – tiba saja terdengar suara teriakan “hidup Mahasiswa, hidup mahasiswa, hidup mahasiswa”. Suara teriakan itu datang dari salah satu mahasiswa yang berada di tengah – tengah kerumunan massa. Teriakan dengan menggunakan Megaphone langsung disambut oleh seluruh massa dengan ikut melafaskan kata yang sama “hidup mahasiswa, hidup mahasiswa, hidup….”.
Suara yang terdengar sangat lantang menggambarkan luapan kemarahan ini, membuat massa berjalan merapat ke belakang spanduk. Mereka mulai berjalan sambil terus berteriak, menuju Gedung tinggi yang tidak jauh dari posisi awal. Gedung Rektorat yang nampaknya mereka tuju, di pelataran gedung sudah terlihat beberapa pria berseragam biru tua yang sudah siaga menyambut.
Satuan pengamanan (SATPAM) kampus selalu siap siaga menjaga gedung tinggi ini, ditambah hari itu (Kamis, 08 Oktober 2015) memang sedang berlangsung Rapat pemilihan Ketua Senat Akademik (SA). Unhas yang telah sah menyandang status otonom (Ber-”BH” (Badan Hukum)) membentuk dan memilih Ketua SA sebelum merampungkan membentukan anggota Majelis Wali Amanah (MWA). Massa semakin merapat sambil membentangkan spanduk dan memblokade pintu. SATPAM mencoba menghalau agar massa tidak masuk ke dalam Gedung.
Massa yang berjumlah ratusan ini merupakan Aliansi Unhas Bersatu yang kembali mendatangi Gedung Rektorat untuk kesekian kalinya. Aliansi mencoba menanggapi persoalan 29 Mahasiswa penerima Beasiswa Bidikmisi, yang diminta oleh pihak Kampus untuk mengembalikan Dana beasiswa yang telah mereka terima. “Kita menuntut keadilan, bukan penindasan! Kita menuntut keadilan, bukan pungutan liar! Kampus kita sekarang ini sudah tidak bersih”, teriak Alamsyah selaku Jendral Lapangan (Jenlap) dalam orasinya.
Kasus ini bermula ketika muncul 29 nama Mahasiswa yang di minta mengembalikan dana yang sudah diterima. Alasan yang diterima dari pihak Kampus, ini merupakan hasil temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Sulawesi Selatan (BPKP Sul-Sel) yang sementara di proses di Kejaksaan Negeri Makassar, bahwa adanya kerugian negara yang terjadi pada pengelolaan beasiswa bidikmisi, ke- 29 mahasiswa ini tidak seharusnya mendapatkan beasiswa karena penghasilan orang tua di atas rata-rata dari angka pendapatan maksimal, sehingga harus mengembalikannya.
Yang menjadi pertanyaan mereka (Mahasiswa) adalah tidak adanya aturan atau mekanisme pengembalian dana dalam pedoman Pengelolaan Beasiswa DIKTI. Terlebih lagi ini bukan kesalahan mahasiswa, karena mahasiswa hanya mengumpulkan berkas yang kemudian dilakukan verifikasi oleh panitia penerima. Jika memang pada tahap verifikasi, berkas yang dikumpul tidak sesuai dengan kualifikasi penerima maka tidak seharusnya diloloskan. Dan selama kasus ini dilimpahkan kepada mahasiswa belum pernah diperlihatkan surat keputusan (SK) yang melegitimasi secara hukum, bahwa memang pada posisi ini mahasiswa yang harus bertanggung jawab atas kesalahan tim verifikasi.
Dalam Aksi ini beberapa Mahasiswa lainnya juga mengeluarkan aspirasinya. Tidak hanya melalui orasi, melainkan melalui nyanyian, dan puisi. Akbar salah satu diantara 29 Mahasiswa yang menjadi korban kasus bidik misi juga menyampaikan keresahan dan ketidakterimaannya atas tindakan pihak kampus. “Sejak beberapa bulan lalu saya tidak dapat mengisi KRS. Padahal saya di sini tidak tahu menahu tentang verifikasi tersebut. Apalagi birokrasi juga telah mengakui bahwa mereka yg telah bersalah mengenai verifikasi, tegas Akbar dalam orasinya.
Dia juga menambahkan bahwa pihak kampus melakukan ancaman terhadapnya, jika sejumlah dana yang telah diterima tidak juga dikembalikan. “Birokrasi telah mengancam saya dengan ancaman-ancaman akademik. Salah satunya ialah saya tdk diijinkan sarjana sebelum mengembalikan Dana Bidikmisi tersebut. Saya di sini hanya meminta kejelasan Ibu rektor karena yang bersalah di sini tim verifikasi bukan saya”, tegasnya.
Aliansi dalam aksi ini meminta agar dapat ditemui oleh pihak pimpinan Unhas, untuk menandatangani surat pernyataan agar pihak kampus akan berhenti meminta dana ke 29 Mahasiswa serta segera mengembalikan dana yang telah diserahkan oleh beberapa Mahasiswa tersebut. Mereka juga meminta, agar tidak ada lagi memberi ancaman dalam bentuk apapun dan melanjarkan proses akademik yang sempat ditunda oleh kampus.
Sudah hampir dua jam berada di depan pintu Gedung, pimpinan Unhas belum juga menampakkan diri. Membuat salah satu massa meminta agar SATPAM kembali melakukan komunikasi ke Pimpinan, dan massa aksi mengancam jika pimpinan Unhas tidak segera turun maka mereka yang akan menemui bersama-sama. Hal ini sempat membuat salah satu SATPAM tidak menerima ancaman dan memanas hingga membuat massa aksi kesal, hingga terjadi saling dorong.
Kondisi tersebut tak berlangsung lama, karena pimpinan Unhas akhirnya turun. Wakil Rektor III (WR II) Abdul Rasyid Jalil yang menemui massa aksi. Dengan sedikit tergesa – tesa WR III memberi tannggapan atas tuntutan Aliansi, menurutnya persoalan ini perdebatannya sangat panjang maka itu harus ada pertemuan dengan pihak pihak terkait untuk didiskusikan agar tidak lagi yang merasa dirugikan. ”Beri saya kesempatan untuk mengkomunikasikannya dengan Ibu Rektor,karena saya tidak bisa mengambil keputusan” tutur Abd. Rasyid selaku WR III.
WR III juga menyampaikan bahwa dalam waktu dekat ini, 29 mahasiswa akan di undang kembali untuk melakukan pertemuan agar mendapat solusi terbaik dan semua data-data fakta terkait kasus ini akan kami perlihatkan. Dia juga menegaskan mulai hari ini tidak ada lagi intimidasi terhadap ke 29 Mahasiswa, jika hal itu masih terjadi indtimidasi maka segera mungkin dilaporkan. “Saya undang secara lisan sekarang 29 orang itu, jam sepuluh besok kita pertemuan di Ruang Rapat B” tambahnya.
Setelah memberi tanggapan, Abdul Rasyid Jalil (WR III) langsung meninggalkan lokasi dan kembali naik ke atas Gedung dengan terburu-buru. Pimpinan organ yang tergabung dalam Aliansi kembali berunding, sebelum meninggalkan Gedung Rektorat dan mengakhir aksi hari itu dan harus kembali menunggu dialog yang di janjikan WR III. (Fe/Ms)
No Comment