Oleh: Weirdotramp
Sore hari lainnya di kampus kita tercinta, Universitas Hasanuddin. Dalam suasana lengang khas UNHAS di sore hari, masih terlihat beberapa mahasiswa baru di kantin JASBOG yang baru saja selesai di renovasi atas bantuan Bank BNI. Beberapa dari mereka terdengar sedang mempergunjingkan kawannya yang tidak dapat bidikmisi dan terpaksa berhenti kuliah, dan juga salah satu dari mereka sedang berkeluh kesah sebab harga makanan di kantin ini yang semakin mahal. Tak jauh dari kantin JASBOG, diatas lapangan basket berwarna merah dengan tulisan TELKOMSEL terpampang besar ditengahnya, kawan-kawan pegiat bola basket Fakultas FISIP sedang asik berlatih. Tadi siang, beberapa mace kita telah menandatangani kesepakatan kenaikan biaya sewa tempat, kekecewaan terlihat jelas di wajah mereka sementara di beberapa titik di kampus, beberapa organ kemahasiswaan sedang duduk berfilsafat, mencari akar masalah kehidupan ini. Beberapa dari mereka adalah penyandang beasiswa aktivis. Di televisi, bapak Jokowi kita sedang berlenggak lenggok kesana kemari membuka keran bagi investasi asing untuk menanam modalnya di Indonesia. Jelas sudah arah negara kita ini kepada logika neoliberal. Oh iya, bekas asrama Papua di dekat IPTEKS tak lama lagi akan disulap menjadi wisma UNHAS. Sejak disahkannya UNHAS sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), cukup banyak perubahan yang telah terjadi dan masih akan terus berlanjut.
Didalam logika neoliberalisme, subsidi-subsidi untuk lembaga-lembaga milik negara yang menghambat pertumbuhan ekonomi sebaiknya dipangkas dan dialihkan kepada pertumbuhan ekonomi seperti pembangunan infrastruktur demi menarik perhatian para investor. Para investor diberikan ruang yang sangat bebas dalam bersaing dengan sesamanya, meskipun akan berakibat pada semakin bertambahnya kelas tertindas dalam suatu negara. Tugas negara adalah hanya untuk menjaga agar tidak terjadi kegagalan pasar. Sebagai ganti pemotongan subsidi, institusi yang dikurangi subsidinya diberikan kewenangan dalam mengelola sendiri keuangannya dengan lebih bebas, termasuk menggandeng korporasi tertentu untuk bekerjasama.Di Indonesia, disekitaran krisis tahun 1998, dimana banyak disepakati berbagai peminjaman uang dari luar negeri termasuk yang terbesar yakni Bank Dunia menjadi pijakan kokoh bagi kebangkitan neoliberalisme. Berbagai peminjaman uang untuk membenahi berbagai sektor diterima dengan syarat tertentu oleh bank dunia bagi sektor yang ingin dibenahi. Khususnya di institusi pendidikan, kita bisa melihat kontrak peminjaman uang dari bank dunia dalam bentuk I-MHERE, HELTS, dan lain sebagainya yang memang berisikan proyek liberalisasi lembaga pendidikan. Turunan dari proyek-proyek tersebut berupa penerbitan undang-undang maupun peraturan pemerintah yang menopang pengembangan proyek tersebut. Di dalam UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa guna memajukan pendidikan nasional, diperlukan otonomi bagi PTN untuk mengelola sendiri baik urusan akademik maupun non-akademiknya. Belakangan, diketahui bahwa berbagai permasalahan keadilan serta penurunan mutu pendidikan marak terjadi semenjak otonomi PTN. Semakin susahnya akses melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bagi masyarakat yang kurang mampu, berbagai kerjasama kampus dengan berbagai korporasi demi mencetak tenaga kerja perusahaan tersebut, dan masih banyak lagi bukti yang bisa anda cari sendiri yang menegaskan bahwa otonomi kampus memang bukan solusi bagi kemajuan pendidikan nasional.
Universitas Hasanuddin yang adalah salah satu institusi pendidikan milik negara sendiri telah berubah status menjadi Perguruan tinggi berbadan hukum atau disingkat PTN-BH sejak 17 Oktober 2014 lalu yang disahkan oleh presiden SBY dalam bentuk Peraturan Pemerintah nomor 82 Tahun 2014. Sebelumnya, telah terbit berbagai UU maupun peraturan pemerintah yang mendukung otonomi perguruan tinggi. Hal ini sehubungan dengan dampak dari PTN-BH yakni privatisasi pendidikan, dimana pemerintah pusat memangkas subsidinya ke PTN dan mengalokasikannya ke sektor yang lebih produktif, sehingga memaksa PTN untuk mencari sendiri sumber pendaan lain. Tak heran bila logo-logo perusahan mulai bermunculan di beberapa sudut kampus yang diundang UNHAS untuk membantu pendanaan dan juga berbagai sistem pengaturan keuangan baru bagi mahasiswa.
Lalu mengapa hal-hal diatas begitu buruk bagi kehidupan kampus dimasa depan?Mengapa beberapa waktu lalu, terdapat beberapa riak di kampus yang meneriakkan penolakan atas PTN-BH dan aturan turunannya? Dan, mengapa belakangan penolakan-penolakan tersebut hilang dari permukaan tanpa output yang memuaskan bagi mereka yang menolak? Ketika masyarakat kelas pekerja dimatikan aksesnya untuk memperoleh pengetahuan dan waktu dan hidupnya dieksploitasi untuk bekerja, maka dibutuhkan elemen lain demi penegakan keadilan. mahasiswa yang waktunya difokuskan untuk belajar dan terdapat banyak waktu luang, serta didukung dengan pengetahuan yang didapatkan di kelas ketika kuliah, dan juga idealismenya yang membara sebagai pemuda diharapkan menjadi tumpuan bagi pergerakan masyarakat menuju keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Tapi tidak lama lagi, harapan diatas tidak akan bertahan lebih lama. Tak lama lagi, bermahasiswa hanyalah sekedar untuk mendapat gelar sarjana dan memperoleh tambahan ilmu pengetahuan demi mengabdi pada sistem kehidupan menindas atau ditindas. Sebut saja sistem subsidi silang yang menjadi andalan birokrasi dalam memperoleh dana dari mahasiswa menjadikan birokrasi kampus akan senantiasa berorientasi pada penerimaan mahasiswa baru dari kelas menengah keatas agar pengeluaran bagi mahasiswa kurang mampu dapat diminimalisir. Akibatnya, keadilan atas pendidikan di kampus kita semakin kabur. Keburukan dari sistem ini semakin diperparah dengan kebiasaan laten para birokrat, korupsi. Masuknya korporasi ke kampus juga merupakan hal yang memperburuk kehidupan mahasiswa kedepannya. Korporasi masuk ke kampus tidak dengan Cuma-Cuma. Jelas ada kepentingan tertentu korporasi, entah menuntut kampus untuk menjadi produsen tenaga kerja yang berdampak pada tumpulnya nalar kritis mahasiswa, maupun pelemahan lembaga kampus agar mahasiswa tidak memanfaatkan waktunya untuk berorganisasi dan fokus mengejar gelar sarjana. Akhirnya, kehidupan kemahasiswaan di kampus diisi oleh mereka yang dari kelas menengah keatas yang konsumtif dan tidak peduli dengan keadilan, sedang para mahasiswa dari kelas menengah kebawah sedang sibuk mengejar gelar sarjana akibat tuntutan ekonomi keluarga atau tekanan birokrasi bagi para penerima bidikmisi, tak ada kondisi mendukung bagi ruang-ruang kritis di kampus. Kini, tak ada alasan bagi kita untuk diam sebab kekacauan nampak sangat jelas disekeliling kita. Kehidupan kita masih terus terancam hingga kita mengambil tindakan yang nyata hingga masalah selesai tanpa harus terus ditundukkan kepada berbagai aturan yang memuakkan.
No Comment