catatankaki.org — Moment besar peringatan Hari Tani Nasional (HTN) yang jatuh pada tanggal 24 September masih terasa hangat, dengan maraknya aksi-aksi dari masyarakat dan penggiat civil soceity. HTN ini ditetapkan berdasarkan tanggal penetapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, pada tanggal 24 September 1960. Dalam UUPA ini mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria bagi masyarakat khususnya kaum tani dan masyarakat adat.
Hari ini (senin, 28/9/2015), Front Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan (FPR SULSEL) kembali melakukan aksi besar di bawah Fly Over Makassar yang dilanjutkan ke titik aksi yaitu Kantor PT Perkebunan Nasional XIV (PTPN XIV) Regional Makassar dan Kantor DPRD Prov. Sulawesi Selatan. Aksi ini diikuti ratusan masyarakat yang terdiri dari berbagai Organisasi Masyarakat dan Organisasi Mahasiswa. Aksi ini merupakan bentuk resistensi terhadap segala bentuk ketidakadilan dan perampasan hak hak masyarakat sipil utamanya persoalanan lahan. Melalui aksi ini FPR menyoroti persoalan monopoli lahan, perampasan lahan dan kriminalisasi terhadap kaum tani yang masih terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.
FPR juga kembali menyoroti persoalan lahan petani di Kec. Polongbangkeng Utara, Kab. Takalar. Sejak kemunculan PTPN XIV pada tahun 1980 yang merupakan salah satu perkebunan tebu terbesar di Sul-Sel masih membawa masalah hingga hari ini dan belum mampu di selesaikan oleh pihak pemerintah dan pihak-pihak terkait. Pada tanggal 27 Oktober 2014 tahun lalu, pihak PTPN XIV didampingi oleh aparat TNI Yonif 726, Brimob POLDA SULSEL, Satpol PP, serta preman melakukan pengolahan lahan secara paksa pada lahan milik masyarakat yang berujung pada kriminalisasi terhadap petani. Dan juga pada bulan April 2015 PTPN XIV kembali melakukan pengrusakan terhadap lahan yang sementara dikelola oleh masyarakat.
FPR menegaskan beberapa poin tuntutan kepada pemerintah dan pihak perusahaan yang mengelolah lahan petani, diantaranya hentikan perampasan tanah dan monopoli lahan serta laksanakan reforma agraria sejati di Indonesia, jalankan kedaulatan pangan di Indonesia dengan memberikan tanah pada petani, tarik TNI dari Desa dan hentikan tindakan kekerasan terhadap kaum tani, hentikan perampasan tanah atas nama pembangunan infrastruktur di Indonesia, cabut izin perkebunan yang membakar lahan hingga menimbulkan asap kronis yang berdampak munculnya penyakit bagi masyarakat sekitar.
FPR juga meminta dengan tegas PTPN segera menyerahkan 1000 ha lahan yang telah dijanjikan Bupati Kab. Takalar kepada petani Polongbangkeng Utara, tertibkan karyawan PTPN XIV yang nakal, evaluasi tebu rakyat dan koperasi “Cinta Manis Sayang Manis”.
Di Kantor PTPN XIV massa aksi ditemui oleh pihak PTPN dan menyatakan akan segera menindaklanjuti penyerahan 1000 ha lahan kepada petani Polongbangkeng. “pihak PTPN bilang, dia akan segera serahkan 1000 ha lahan ke petani sesuai janjinya” ujar Ahsan salah satu massa aksi yang tergabung dalam FPR.
Namun belum ada kepastian waktu proses pengembalian 1000 ha lahan tersebut. Ahsan juga menambahkan bahwa akan segera dilaksanakan pertemuan dengan semua stakeholder terkait dalam hal ini pemerintah Kab. Takalar, DPRD Kab. Takalar, Pihak PTPN, TNI, dan Serikat Tani Polongbangkeng (STP). Dan untuk proses pertemuan untuk membicarakan semua hal terkait aturan dan mekanisme pengelolaan lahan, PTPN menyerahkan sepenuhnya kepada STP untuk melakukan negosiasi kepada pemerintah Kab. Takalar.
Setelah mendapat tanggapan dari pihak PTPN, massa Aksi melanjutkan ke Kantor DPRD Prov. Sul-Sel. Tanggapan yang sama dengan pihak PTPN, salah satu anggota DPRD SULSEL yaitu Armasyah dari komisi A menyerahkan proses ini ke pihak STP dan pemerintah Kab. Takalar dan pihak DPRD juga akan turun ke lokasi melakukan tinjauan langsung dalam proses pembagian dan tatakelola lahan nantinya.
Dalam aksi ini, FPR juga menyoroti persoalan Pendidikan yang semakin sulit diakses oleh masyarakat utamanya para kaum tani. FPR menuntut agar segera mencabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012 dan revisi Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang selama ini telah menyempitkan akses masyarakat atas pendidikan dan melegitimasi Privatisasi serta komersialisasi Pendidikan.
No Comment