Sejenak Melihat Pengkaderan


Oleh: Pohon Beku

Melihat sejenak kampus merah di kala senja memuntahan sinar jingganya. Beberapa kelompok mahasiswa baru (Maba) duduk bersama melingkar mendengarkan celoteh dari seseorang yang duluan lahir dan masuk di universitas atau secara gamblang disebut senior. Senior ini Berceloteh dengan congkak bangga tentang segala pengetahuan yang baru saja ia miliki. Kemudian menggertak dan menghakimi Maba yang ada di sekelilingnya. Para Maba yang mengantuk dan gelisah ingin pulang tetap saja berada dalam lingkaran itu karena kegelisahannya tak lebih dari rasa takutnya.

Bentuk pendidikan yang dilakukan oleh lembaga mahasiswa ini menyeragamkan pola pikir. Mendekonstruksi pemikiran lalu dengan seenaknya menentukan jalan hidup seseorang, inilah cara elite lembaga memperlakukan maba. Tidak jauh berbeda dari yang dilakukan oleh anggota DPR terhadap masa depan rakyatnya. Ataukah sekarang elite lembaga tak jauh lebih hina dari anggota DPR. Dengan berlandaskan tradisi segala hal dalam bentuk pengaderan menjadi biasa – biasa saja, namun kita terkadang lupa tentang relevansi kegitan kita. Nah sekarang mari sedikit refleksi pola pengaderan kita.

Masa kedatangan maba terus menerus ditunggu – tunggu oleh senior untuk melancarkan kekuasaan semu yang dipegangnya. Kekuasan memaki, menghukum dengan puluhan push-up dalam bentuk set, memukul yang dilegalkan. Melakukan apa saja agar dihargai dan mendapat pengakuan oleh maba. Pekerjaan hina yang dilakukan oleh senior dari zaman batu. Sehingga bisa jadi saat penyambutan maba bukanlah penyambutan maba, melainkan acara menyambut senior.

Bentuk pendidikan konvensional yang telah lama ditinggal ternyata masih banyak digunakan oleh lembaga mahasiswa, dari bentuk pemeberian materi, penggunaan pakaian dan beberapa atribut mendidik lainnya ternyata tetap diadopsi saat sekarang ini. contohnya mahasiswa yang dibotak, praktik ini merupakan proses pendisiplinan pada era penjajahan untuk menjaga mahasiswa agar tidak melekukan perlawan. Contoh yang lain juga seperti pada pemberian materi, praktik pemberian materi yang bersifat monolog dan menjadikan pemateri sebagai sumber kebenaran adalah suatu kenaifan yang saat ini masih tetap dijalankan. Masih banyak tinggalan Orde baru berbentuk NKK BKK yang masih tetap di gunakan hingga saat ini.

Menilik sejenak unhas, bentuk pendidikan yang diterapkan unhas juga merupakan bentuk pendidikan liberal, pendidikan yang memang berorentasi untuk mendapat keuntungan sehingga wajar saja jika kampus kita ini selalu berpikir oportunis pada setiap kebijakananya. Pendidikan yang meraup untung sebanyak mungkin. Namun inilah mental pendidik kita sekarang ini dan jangan sampai pendidikan yang dari konfensional tadi menjadi pendidikan semacam ini yang diadopsi lagi oleh lembaga mahasiswa. Sehingga tidak ada perbedaan lagi Lembaga mahasasiswa dengan lembaga sapi perah.

Menindak lanjuti dari bentuk pengaderan yang berlaku, maka muncul sebuah tawaran. Pendidikan kritis yang berbentuk partisipatif. Pendidikan yang menggunakan metode dialogis. Pendidikan yang tidak menekan dan mengurusi penampilan maba, melainkan pendidikan yang lebih mengajak untuk berbagi pengetahuan karena bukan berarti senior duluan masuk universitas maka dialah yang tahu segala hal. Bentuk pendidikan kritis ini diharapkan menjadi oposisi dari birokrasi yang otoriter, oportunis dan anti kritik. Pendidikan yang menjadi solusi kebuntuan lembaga mahasisiwa dalam mencetak kader yang berkompetensi.


Previous Kurikulum baru merugikan mahasiswa
Next FPR : Wujudkan Reforma Agraria...!

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *