Kembali menjadi BURUH


Oleh: Sitti Mudrika

Siang masih bersahabat dengan teriknya mentari. Keringatku bercucuran, tenggorokanku kering. Aku kelelahan. Namun langkahku tak boleh berhenti. Aku harus melawan energi mentari yang tak ingin bersahabat denganku kali ini. Aku harus terus melangkah bahkan harus berlari. Berita ini harus segara kusampaikan pada lelaki itu. Lelaki itu manusia luar biasa yang memiliki ekspektasi agar aku menjadi manusia bijaksana sebagaimana terbahasakan dalam namaku, Arif. Lelaki itu tak lain ayahku. Ayah yang tak memiliki kekayaan materi, namun tetap kaya. Sebab kaya menurutku adalah ketika kau berbagi sepotong roti pada manusia lain yang kelaparan.

Ayah adalah satu dari begitu banyak manusia yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat dasar. Bermodalkan ijasah tingkat dasarnyalah ia diterima bekerja di sebuah pabrik sepatu sejak 35 tahun lalu. Ia selalu berangkat pagi bersama rantangan berisi masakan sederhana ibu ke pabrik, dan pulang ketika matahari telah kembali ke peraduannya. Aku selalu menunggu ayah dengan tak sabar. Begitu ia sampai di istana kecil kami, aku akan meringankan tanganku memijat pundak ayah. Sambil memijat, kulantukan kisahku hari itu di sekolah. Kisahku dan sekolah adalah kisah favorit ayah. Seseorang yang hanya duduk sampai di bangku sekolah dasar, menghabiskan waktunya untuk bekerja, menghasilkan uang untuk membiayai sekolah anaknya sangat pantas menyukai kisah tentang sekolah. Kata ayah aku harus sekolah yang tinggi agar aku tidak jadi buruh seperti dirinya. Buruh demikian sebutan untuk mereka yang mendapat upah atas tenaga yang diberikan untuk menciptakan nilai lebih suatu barang yang diproduksi pemilik modal.

“ Apa yang salah jadi buruh, ayah?” tanyaku pada ayah suatu kali

“ Susah sekali ki’ itu jadi buruh nak. Kerja berjam-jam, gaji ta’ tetap ji sedikit. Tiap hari kerja nda’ ada libur. Biar itu perusahaan dapat untung banyak, nda’ naik ji juga gajinya buruh.” Jawab ayah.

“ Kenapa pade’ kita tetap mau jadi buruh kalau begitu?”

“ Mau kerja apa kalau ijasah SD ji ada. Makanya sekolah ki’ itu baik-baik, tetap ji ayah usahakan sampai kuliah ki’. Kalau tinggi mi sekolah ta’ bisa maki ‘bantu ayah tuntut pabrik supaya kasih sejahtera kodong buruhnya.”

Dan disiang yang terik ini aku membawa kabar gembira untuk ayah. Lelaki sang buruh pabrik sepatu itu tentu akan gembira mendengarkannya. Aku lulus SMA dengan nilai yang baik. Kata guruku, nilaiku berpotensi menjadikanku penerima beasiswa di perguruan tinggi kelak. Itu akan membantu ayah. Ia tak perlu bersusah payah memikirkan biaya pendidikan untukku. Aku terlalu gembira dan tak sabar jika harus menunggu petang ketika ayah pulang kerja untuk menyampaikan kabar ini. Kuputuskan untuk menemui ayah di tempat kerja.

Dahiku mengerut, aku kebingungan mendapati begitu banyak manusia berseragam kerja seperti ayahku di depan pabrik. Mereka berteriak. Mereka penuh amarah. Ada apa ini? Dimana ayah? Aku masuk kedalam keramaian manusia buruh itu mencari ayah. Seseorang menepuk pundakku dan aku menoleh padanya. Pak Samin, teman ayah sejak ia bekerja di pabrik ini.

“ Kenapa kesini Arif ?” tanya pak Samin

“ Mau ka’ ketemu ayahku pak Samin. Kenapa ramai begini pak di luar pabrik ? Masih jam kerja ini toh?”

“ Demo ini Arif. Di-PHK (dipecat) ki 200 lebih pekerja. Ayahmu juga dipecat ki.”

Mendengar penuturan pak Samin, tubuhku gemetar. Kabar gembira yang ingin kusampaikan pada ayah tak ada artinya. Kabar duka tentang PHK atau Pemutusan Hubungan Kerja ini tentu memusingkan ayah. Telah 35 tahun tenaga ayah terpakai untuk memberi keuntungan pada pabrik ini, dan akhirnya ia ditendang keluar. Selama 35 tahun ayah dan para buruh lainnya termakan janji peningkatan kesejateraan bagi buruh pabrik. Buruh selalu memiliki potensi mendapat PHK. Kaum buruh termarginalkan, sementara merekalah yang memiliki konstribusi untuk memberi nilai keuntungan pada produk. Para pemilik pabrik dengan tertawa terbahak mengambil keuntungan kemudian menendang para buruh. Pada akhirnya kaum buruh tetap berada pada area masyarakat kelas bawah yang dimiskinkan. Maka yang kaya makin jaya, si miskin makin melarat. Dan anak para kaum buruh sepertiku kembali menjadi buruh. Inilah lingkaran para kaum buruh yang terskenariokan oleh mereka yang berkuasa dan tak bisa hidup tanpa uang. Harus ada perlawanan untuk memusnahkan lingkaran ini. Harus ada.


 Selamat Hari Buruh! Semoga selalu ada perlawanan untuk setiap penindasan terhadap para kaum buruh!


Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

Previous RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas; Produk Pembunuh Demokrasi
Next Aksi Demonstrasi Warnai Peringatan Hardiknas di Makassar

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *