Oleh: Maya
Kadang kita menemukan rumah yang justru jauh dari tempat rumah itu sendiri. And yes, wherever you feel peacefulness, you might call it home — Windy Ariestant
Tak seperti pagi biasanya. Tak ada pekik klakson juga polusi udara yang perlahan mengikis umur apalagi orang – orang yang memadati jalan akibat tunduk akan rutinitas. Di sudut kota Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tepat di bawah kaki gunung Bawakaraeng, terdapat sebuah tempat dengan ingar bingar yang merdu, bernama Lembanna.
Lembanna merupakan dusun atau lingkungan yang menggunakan asas desentralisasi. Sebuah tempat yang masih bersanding dengan sunyi, membuat matahari seakan jatuh hati pada tempat ini. Ia selalu saja berhasil menyubtitusi dinginya subuh menjadi kesejukan pagi, hangat namun tak terik sama sekali. Begitu tenang dan damai. Seperti anak bayi yang tertidur lelap di pangkuan sang bunda. Hanya ada angin yang sesekali berhembus, menari diantara dahan pinus, juga burung – burung berkicau merdu yang membuat candu. Setidaknya, lebih baik dari acara musik pagi di televisi yang terlalu gaduh.
Terkadang, kesederhaanlah yang membuat cinta, bukan hanya rupa. Inilah yang terjadi di Lembanna. Tak ada jejeran villa mewah ataupun resort mahal milik bos kosporasi yang akan memanjakan para pendaki ataupun wisatawan dengan segala fasilitas. Hanya ada senyum ramah penduduk yang seakan menyambut kedatangan. Membuat mereka yang datang seakan pulang ke kampung halaman.
“Saya tidak berasal dari Makassar apalagi dari Malino, tapi saya sudah merasa nyaman di tempat ini, rasanya seluruh tetangga seperti keluarga sendiri,” ungkap Denny, salah satu penduduk dusun Lembanna. Denny berasal dari luar pulau Sulawesi, tepatnya dari kota Surabaya, Jawa Timur. Ia sudah belasan tahun menetap di dusun Lembanna dan menjajakan bakso merupakan pekerjaannya. “Walaupun sangat jauh dari kota asal saya, tapi saya betah. karena penduduk Lembanna adalah keluarga baru saya,” tambah Denny
Interaksi penduduk Lembanna sangatlah terasa. Layaknya sebuah tempat yang membuat orang asing tak akan merasa asing disana. “Sama rata, sama rasa. itulah yang kami junjung selama ini,” ungkap Ansyar, salah satu penduduk asli. Penduduk tak mengenal kasta atau stratifikasi, tak ada perbedaan darah yang keturunan bangsawan atau peduduk biasa. Semuanya berdarah merah. “Ini juga terjadi, karena kebanyakan penduduk secara garis keturunan, memang keluarga,” tambah Ansyar. Selain itu, tak ada perbedaan antara penduduk asli ataupun penduduk pendatang yang menetap, semuanya sama. Mereka sama – sama menemukan rumah, di Lembanna.
Tidak ada tembok tebal dan tinggi yang mengitari tempat ini. Dan membuat sulit mereka yang ingin masuk. Karena penduduk sangat terbuka pada mereka yang berkunjung ke Lembanna. Contohnya saja, terhadap para pendaki yang hendak menjadikan rumah penduduk sebagai tempat persinggahan, sebelum ke Lembah Ramma atau puncak gunung, sebagai tujuan. Lembanna adalah tempat persinggahan paling sederhana dan paling nyaman disaat yang bersamaan. Penduduk membuka pintu rumah untuk para pendaki gunung bawakaraeng. mereka akan menyambut para pendaki dengan senyum paling matahari yang hangat, bukan dengan daftar harga per malam
“Disini kita tidak dianggap sebagai tamu, tapi keluarga baru,” ungkap Dede, salah satu pendaki gunung Bawakaraeng. Dede mendaki gunung bawakaraeng sejak tahun 1995 bersama organisasinya, yaitu Gerakan Anak Bangsa. sejak saat itu, ia merasakan kehangatan, keramahan, dan pesona penduduk Lembanna. Namun sayangnya, tak semua pendaki (ingin) merasakan itu. “Para pendaki baru hanya datang memarkir motor mereka di rumah penduduk kemudian naik ke gunung, ini menyebabkan penduduk merasa tidak dihargai. Bukankah masuk ke kuburan saja kita perlu salam?“ tambah Dede. Tak ada gading yang tak dapat retak, tak ada hati tak pernah patah, seintim apapun suatu interaksi dan komunikasi tak mungkin jika tak ada warna konflik disana.
Percayakah anda? terdapat bahasa yang tak memerlukan aksara juga suara. Hanya membutuhkan hati yang tak terkunci, yaitu, saling memahami. Suatu bahasa yang menimbulkan niat untuk terbuka kepada dunia luar walaupun tak berbicara dengan bahasa yang sama. Mungkin, inilah yang diterapkan penduduk Lembanna maupun para pendaki atau wisatawan untuk mengurangi keberadaan konflik yang ada. Membuat mereka yang datang merasakan magis yang hadir naluriah setiap kali berkunjung ke Lembanna. Selalu ingin kembali dan tak ingin pergi. Yah, Jika saja, Lembanna adalah kata kerja, maka Lembanna berarti mempesona. ♦
Penulis adalah mahasiswa fakultas ilmu budaya
No Comment